Makna Simbol dari Lambang Negara, Sejarah, dan Dasar Hukum Negara

 

 

 

1.     Makna Simbol dari Lambang Negara

 



Garuda Pancasila adalah burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.

·         Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan dan kejayaan.

·         Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.

·         Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:

Ø  17 helai bulu pada masing-masing sayap.

Ø  8 helai bulu pada ekor.

Ø  19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor.

Ø  45 helai bulu di leher.

·         Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.

·         Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.

·         Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaan Indonesia "merah-putih". Sedangkan pada bagian tengahnya berwarna dasar hitam.

·         Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila. Pengaturan lambang pada ruang perisai adalah sebagai berikut:

1.     Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan

·   Lambang bintang emas bermakna sebagai cahaya kerohanian bagi setiap manusia, teman-teman.

·   Sedangkan, latar belakang warna hitam di bawah lambang bintang emas melambangkan warna alam atau warna asli yang menunjukkan Tuhan sebagai sumber dari segala sesuatu di dunia ini.

·   Penerapan sila pertama dalam kehidupan sehari-hari contohnya:

·   Beribadah sesuai kepercayaan yang dianut.

·   Menghargai dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain yang berbeda dengan kita.

·   Saling tolong menolong tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan yang dianut.

 

2.     Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kanan bawah perisai berlatar merah;

·         Makna dari gambar rantai itu adalah menandakan hubungan manusia satu sama lain yang saling membantu.

·         Lambang rantai pada sila kedua Pancasila itu terdiri dari mata rantai berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling terkait membentuk lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki dan mata rantai lingkaran melambangkan perempuan. Sehingga, sesama manusia harus saling membantu satu sama lain.

·         Contoh penerapan sila kedua dalam kehidupan sehari-hari misalnya:

Ø  Bersikap adil pada semua orang dan tidak membeda-bedakan orang berdasar latar belakangnya.

Ø  Saling membantu satu sama lain bila ada yang kesusahan.

Ø  Memberlakukan semua orang dengan adab yang baik.

 

3.     Sila Ketiga: Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kanan atas perisai berlatar putih;

·         Lambang sila ketiga Pancasila adalah pohon beringin. Pohon beringin memiliki akar tunggal panjang yang menunjang pohon itu bisa tumbuh. Akar pohon beringin tumbuh sampai ke dalam tanah dan menggambarkan kesatuan dan persatuan Indonesia. Selain itu, pohon beringin juga memiliki akar yang menjalar ke mana-mana, yang melambangkan negara kesatuan Indonesia  yang memiliki beragam latar belakang budaya.

·         Cara menerapkan sila ketiga dalam kehidupan sehari-hari antara lain:

Ø  Menjaga kerukunan bangsa Indonesia yang memiliki beragam latar belakang suku, budaya, agama, dan bahasa.

Ø  Mencintai Indonesia dengan menjaga kelestarian warisan budaya.

Ø  Bersama-sama menjaga persatuan dan hubungan baik satu sama lain, dan tidak mudah terpecah belah.

 

4.     Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kiri atas perisai berlatar merah;

·         Sila keempat Pancasila dilambangkan dengan gambar banteng. Banteng merupakan hewan sosial yang suka berkumpul. Ini melambangkan musyawarah, di mana orang-orang berdiskusi dan berkumpul.

·         Bentuk penerapan sila keempat ini adalah:

Ø  Mencari solusi untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah bersama.

Ø  Menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak diri sendiri ketika bermusyawarah.

Ø  Menerima hasil musyawarah untuk kebaikan bersama dengan lapang dada.

 

5.     Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kiri bawah perisai berlatar putih.

·         Lambang dari sila kelima Pancasila ini adalah padi dan kapas. Makna dari lambang padi dan kapas itu adalah pangan dan sandang yang merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat Indonesia. Namun, keadilan ini juga berlaku pada semua aspek kehidupan manusia.

·         Beberapa hal yang termasuk penerapan Pancasila sila kelima adalah:

 

Ø  Saling menghormati kewajiban dan hak sebagai warga negara.

Ø  Menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara.

Ø  Menjaga dan menggunakan hak bersama agar bisa digunakan bersama-sama dan memperjuangkan keadilan untuk semua orang.

 

·         Kedua cakar Garuda Pancasila mencengkeram sehelai pita putih bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam.

·         Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata "bhinneka" berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, kata "tunggal" berarti satu, kata "ika" berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.


2.     Sejarah

Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuno paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.

 

Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.

 

Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945–1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah

 

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku "Bung Hatta Menjawab" untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.

 

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.[2]

 

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.[3] Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

 

Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.[2] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.      Dasar Hukum Peggunaannya yaitu BENDERA MERAH PUTIH

Bendera Merah Putih resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945. Telah ada pengaturan mengenai ketentuan ukuran bendera, penggunaan, penempatan, hingga aturan pidana terhadap pihak yang menghina Bendera Negara. Aturan tersebut termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

 

Pada Pasal 24 Undang-Undang tersebut, diatur soal apa saja yang dilarang dilakukan terhadap Bendera Negara. Setiap orang dilarang:

 

merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;

memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;

mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;

mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan

memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.

Aturan sanksi pidana terhadap mereka yang melanggar hal tersebut di atas juga tegas diatur dalam Undang-Undang itu.

Pasal 66

 

Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 67

 

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:

 

dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b;

dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c;

mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d;

dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e.

Komentar........

Lebih baru Lebih lama