OMNIBUS LAW “CIPTA KERJA” : KONSEP DAN PENGARUHNYA BAGI INDONESIA

 



OMNIBUS LAW “CIPTA KERJA” : KONSEP DAN PENGARUHNYA BAGI INDONESIA

Kelpin Dwi Amanda (01010582024138) 1A6
Jurusan D3 Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwijaya
Email :
kelpindwiamanda@gmail.com
Pembimbing : Nurhidayatuloh
SHI., S.Pd., SH., LL.M., MH., MHI

 

 

ABSTRAK - Rencana pembentukan undang-undang dengan konsep Omnibus Law terus bergulir dan mewarnai kebijakan publik itu akan diambil oleh Pemerintah Indonesia. RUU dengan konsep Omnibus Law terus difinalisasi dengan pro dan kontra dalam proses pembentukannya. Apapun itu, konsep Omnibus Law ditawarkan sebagai sebuah solusi dari masalah regulasi di Indonesia yang mana sudah terlalu hiper dan tidak harmonis. Sebagai solusinya, Omnibus Law di level kebijakan publik adalah strategi. Strategi diluncurkan oleh Pemerintah untuk mengatasi kendala dan tantangan. Pertanyaannya mengapa konsep Omnibus Law dipilih sebagai strategi Pemerintah untuk menangani hambatan regulasi? Apakah Omnibus Law bisa menjadi strategi yang tepat untuk mengatasi masalah regulasi di Indonesia. Masalah ini adalah diselesaikan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif menggunakan pendekatan hukum berdasarkan data sekunder dan dilengkapi dengan data primer diperoleh melalui wawancara.

 

Kata kunci: Omnibus Law, hukum, regulasi

 

I. PENDAHULUAN

Istilah Omnibus Law telah bergema Indonesia sejak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyampaikan pidato pertamanya dalam pidatonya pelantikan pada 20 Oktober 2019.   Ide dari Omnibus Law menjadi perbincangan diantara para pembuat hokum lembaga selain Pemerintah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Dalam Legislasi Nasional Program 2020-2024, RUU yang diusulkan dengan konsep Omnibus Law adalah 3 (tiga) dari 248 RUU, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja; Draf Bill tentang Pengembangan dan Penguatan Keuangan Sektor; dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Keterlibatan Ekonomi. Omnibus berasal dari kata Latin omnis yang artinya "semua". jika dikaitkan dengan konsep hukum di Black Law Dictionary, omnibus artinya banyak benda atau barang sekaligus; banyak hal atau memiliki berbagai tujuan.  Sebagai apa yang telah dirilis, dan diketahui melalui penelitian dan situs web, jumlah undang-undang dan peraturan di Indonesia sudah mencapai tahap hyper regulation atau kegemukan. Misalnya pada website peraturan.go.id, untuk Misalnya, diketahui bahwa sudah ada 1687 undang-undang, 180 Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang, 4558 Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden 2008, Peraturan Menteri 14722, Peraturan Non-Institusi Pemerintah Kementerian 3758, Regional Peraturan 15965.  Dalam kondisi regulasi Indonesia, Konsep Omnibus Law menjadi perhatian dan menawarkan strategi untuk menyederhanakan regulasi di Indonesia. Namun, pertanyaannya yang mengemuka itulah mengapa konsep Omnibus Law itu dipilih sebagai strategi untuk ditangani oleh Pemerintah hambatan regulasi? dan Apakah Omnibus Law bisa menjadi strategi yang tepat untuk mengatasi masalah regulasi di Indonesia.

Saat ini keberadaan tenaga kerja dan tenaga kerja merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam dunia industry dan seperti dua sisi mata uang. Dalam hal ini, jika tidak ada buruh, maka pengusaha pasti tidak mampu menjalankan usahanya sesuai dengan tujuan dan sasaran bisnis yang ditetapkan. Di samping itu, Pekerja juga tidak akan bisa bertindak semena-mena atas kemauannya menuntut kepuasan kerja saat menjalankannya keluar semua kewajiban mereka sebagai pekerja atau pekerja di tempat kerja. Kepuasan kerja adalah perasaan positif dan sikap karyawan tentang pekerjaan mereka dan bergantung pada banyak faktor yang terkait dengan pekerjaan, termasuk sifatnya pekerjaan (tugas yang terlibat, dan minat serta tantangan yang dihasilkan pekerjaan), tingkat kompensasi, dan persepsi keadilan sistem promosi dalam suatu perusahaan. , kualitas kondisi kerja, gaya manajemen, hubungan sosial di tempat kerja, peraturan ketenagakerjaan dan lain-lain. Kemudian, sikap kerja pekerja dan tenaga kerja secara positif terkait dengan kesejahteraan pribadi secara umum, berupa kepuasan kerja yang dapat meningkatkan produktivitas sehingga akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perusahaan pencapaian tujuan dan sasaran perusahaan. Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli menyatakan bahwa perhatian intens yang harus difokuskan dan diterapkan oleh pengusaha pada pekerja dan pekerjaan buruh adalah sebuah upaya membangun keterikatan kerja dan menciptakan keadaan termotivasi yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penyerapan dalam pekerjaan seseorang. Dengan demikian, hubungan antara pengusaha dan pekerja dapat diartikan sebagai sebuah masalah strategis karena pemilik bisnis perlu memperhatikan hubungan ini jika mereka menginginkan bisnis mereka untuk berkembang dan menjadi sukses. Dalam hal ini, aturan khusus harus ditetapkan, hokum berkaitan dengan hubungan antara pengusaha dan pekerja. Negara Indonesia adalah negara hukum menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen ketiga disahkan pada 10 November 2001, dan penegasan ketentuan ini Undang-undang berarti bahwa segala aspek kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan pemerintahan harus berdasarkan hukum. Karena itu, untuk menciptakan negara hukum yang salah satunya membutuhkan perangkat hukum yang digunakan untuk mengatur keseimbangan dan keadilan di semua bidang kehidupan dan mata pencaharian masyarakat melalui peraturan perundang-undangan tanpa mengesampingkan fungsi yurisprudensi. Dengan kata lain, sebenarnya peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan negara hukum Indonesia sehingga semua peraturan perundang-undangan yang diatur tentang hak dan kewajiban warga negara harus selalu memiliki hukum tertulis yang jelas. Dalam konteks ini, landasan utama persalinan dan hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian, undang-undang ketenagakerjaan dan ketenagakerjaan di Indonesia harus ditaati oleh semua warga negara, dalam konteks kekinian berkenaan dengan undang-undang tertentu dan regulasi terkait hubungan antara pengusaha (pemberi kerja) dan pekerja di Indonesia, pihak Omnibus Law RUU Omnibus Law Cipta Kerja ( Rancangan Undang-Undang - RUU) adalah disampaikan oleh Pemerintah pada akhir tahun 2019 oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Pemerintah sudah menyerahkan Surat Presiden, RUU Omnibus Law Cipta Kerja , dan RUU Naskah Akademik kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tanggal 12 Februari, 2020. RUU Omnibus Law “Omnibus Law“ Cipta Kerja ”dirancang untuk menjawab kebutuhan pekerja, UKM, dan industri. Dari perspektif Pemerintah Republik, ia berpendapat bahwa UU Omnibus dari Omnibus Hukum “ Cipta Kerja” Bill ( Rancangan Undang-Undang - RUU) ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional dan memperbaiki iklim investasi yang lebih kondusif Pemerintah Republik Indonesia menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). untuk dibahas dan dimintakan persetujuan menurut konstitusi. Namun, masalah yang muncul di tingkat ahli terkait Omnibus Law  “ Cipta Kerja ” sebagai berikut: untuk apa dan untuk siapa ?. Dari perspektif berbagai pihak non-pemerintah, Para ahli menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja menuai banyak kritik. Hasil dari Forum Kelompok Diskusi (FGD) hari ini, Rabu (26/2/2020) di Universitas Andalas menyimpulkan bahwa Field Creation Law Kerja atau yang banyak dikenal dengan Omnibus Law RUU “ Cipta Kerja” adalah RUU Omnibus Law bermasalah dan merekomendasikan DPR RI untuk membahasnya secara serius dengan memperjuangkan kepentingan rakyat. Akademisi sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mencatat hal-hal sebagai berikut, pertama pada aspek filosofis, spirit atau spirit dibalik metode Omnibus Law dalam “ Cipta Kerja ” RUU, semata-mata untuk kepentingan investasi, bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua, jelasnya, dari aspek sosiologis, pertanyaan terbesarnya adalah apakah masyarakat kita membutuhkan undang-undang ini? Kemudian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan ada beberapa yang sangat perbedaan signifikan dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan .. Omnibus Law “ Cipta Kerja” RUU yang notabene berhasrat memotong regulasi justru akan melahirkan 493 (empat ratus sembilan puluh tiga) Peraturan Pemerintah, 19 (sembilan belas) Peraturan Presiden, dan 4 (empat) Peraturan Daerah baru jadi agar mereka bisa lari. Artinya, terdapat 516 (lima ratus enam belas) peraturan pelaksana baru yang mengeluarkan Omnibus Hukum “ Cipta Kerja” Bill (Omnibus Hukum Ringkasan Eksekutif dari para RUU Omnibus Law “ Cipta Kerja” : Obsesi Pembangunan yang Membawa Ruang dan Pengorbanan Pekerja. Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan, peneliti tertarik untuk melakukan studi komprehensif dengan mendeskripsikan secara yuridis dan historis aspek implementasi UU Ketenagakerjaan dan menganalisis pentingnya Omnibus Law “ Cipta Kerja” Bill di Indonesia. Kemudian penelitian ini dikembangkan dengan tujuan untuk menganalisis dan menganalisanya hubungan dengan usul Pemerintah Republik Indonesia tentang efektivitas dari UU Omnibus “ Cipta Kerja” Bill dalam menyelesaikan peraturan yang tumpang tindih di Indonesia sehingga akan berkontribusi untuk mempercepat aliran arus modal investasi. 

 

II. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Itu Pendekatan yang digunakan adalah normatif untuk mempersoalkan Omnibus Law strategi sebagai pemecah masalah untuk regulasi yang tumpang tindih di Indonesia.  Studi ini sangat mengandalkan data sekunder.

A. Omnibus Sebagai Strategi Penyederhanaan Regulasi

Masalah hiper regulasi di Indonesia sudah dimunculkan oleh berbagai penelitian termasuk dampaknya terhadap peraturan yang tumpang tindih. Pusat Hukum dan Kebijakan Studi, misalnya mencatat bahwa dari Oktober 2014 hingga 2018, ada sekitar 7.621 peraturan menteri.

Sedangkan jumlah peraturan presiden yang dihasilkan selama empat tahun terakhir hanya 765 dan pemerintahan peraturan sebesar 452. . Dari jumlah ini dapat dikatakan bahwa memang jumlah undang-undang dan regulasi di Indonesia terlalu banyak. Dengan jumlah ini, menurut Indeks Kualitas Regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, posisi Indonesia selama 1966-2017 telah selalu menduduki peringkat 92 dari 193 negara.  Kondisi regulasi hiper dan obesitas menyebabkan Indonesia untuk menangani masalah hukum yang tumpang tindih. Inkonsistensi dan ketidakharmonisan yang disebabkan oleh regulasi yang berlebihan menjadi salah satu faktor utama penghambat Indonesia daya saing. Padahal daya saing suatu bangsa menentukan kemampuan suatu negara untuk menarik investor negara mereka.  Kondisi Indonesia daya saing dipengaruhi oleh indikasi kurangnya kemudahan berbisnis di indonesia, begitu pula investor kurang tertarik berinvestasi di indonesia. Hal ini karena, menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki multi-layered prosedur, setidaknya 10 tahap dengan perkiraan 19,6 hari. Ini menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 190 negara dengan mudah bisnis dan peringkat ke-50 sebagai negara yang kompetitif, atau turun ke posisi kelima pada tahun 2018.  Secara etimologis, strategi merupakan langkah untuk mengatasi rintangan, terima tantangan.  Satu kendala dialami menurut Indonesia adalah proses birokrasi yang begitu banyak peraturan menghalangi investasi dan daya saing. Itu tantangan, pembangunan di era masyarakat digital dan era ketidakpercayaan menuntut negara untuk bersiap menghadapi kualitas sumber daya manusia, produktivitas, inovasi dan kesiapan daya saing. Sebagai tambahan, tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam bonus demografi pada tahun 2045. Tantangan lain yang dihadapi termasuk infrastruktur pembangunan disertai dengan reformasi struktural dan memperkuat kompetensi sumber daya manusia. Jika dijelaskan, tantangan yang akan dihadapi Indonesia yaitu perkembangan internet dan penggunaan digital teknologi di Indonesia, banyaknya usia produktif populasinya mencapai 68% atau setara dengan 200 juta orang pada tahun 2030, dan ketimpangan ekonomi yang tercermin dari kemiskinan di kawasan timur Indonesia 18,01 persen, 10,3 persen di barat, dan perkotaan 7,02 persen. Sedangkan ketimpangan pendapatan di perdesaan sebesar 0,324 dan daerah perkotaan adalah 0,4. Omnibus dipilih sebagai strategi untuk mengatasinya tantangan dan kendala regulasi di Indonesia, karena diyakini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan Penerapan konsep Omnibus Law digunakan oleh beberapa orang negara, antara lain:

1. Mengatasi publik vertikal dan horizontal konflik kebijakan secara efektif dan efisien;

2. Harmonisasi kebijakan pemerintah, baik pada tingkat pusat dan daerah;

3. Lebih menyederhanakan proses perizinan terintegrasi dan efektif;

4. Memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit;

5. Meningkatkan koordinasi antar yang terkait lembaga karena diatur dalam sebuah kebijakan    terintegrasi;

6. Memberikan jaminan kepastian hukum dan hokum perlindungan bagi pembuat kebijakan

 

B. Omnibus Dalam Sistem Regulasi Indonesia

Dengan segala kelebihan yang diemban oleh Omnibus Law kepada mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam Dari segi regulasi, yang sering diperdebatkan oleh kalangan akademisi adalah soal kesesuaian sistem hokum undang-undang di Indonesia. Omnibus Law diyakini bisa menjadi sesuatu yang bisa memecahkan masalah regulasi, yaitu hyper dan overlapping.Harmonisasi tidak lagi dianggap sebuah strategi yang mumpuni untuk memecahkan masalah. Omnibus Law penerobosan. Omnibus memang dihitung sebagai strategi yang dilakukan oleh beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belgia dan Inggris, meskipun untuk mengimplementasikannya, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit dan waktu yang dibutuhkan tidak pendek. Namun, Omnibus dianggap mampu, karena berhubungan dengan atau berurusan dengan berbagai objek di sekali, termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan.  Praktek Omnibus Law yang sering disebut adalah sistem yang digunakan oleh negara Serbia.  Serbia mengadopsi Omnibus Law pada tahun 2002 yang mengatur status otonom Provinsi  Vojvodina yang termasuk dalam Serbia. Hukum mencakup yurisdiksi pemerintah provinsi Vojvodina mengenai budaya, pendidikan, bahasa, media, kesehatan, sanitasi, asuransi kesehatan, pensiun, perlindungan sosial, pariwisata, pertambangan, pertanian, dan olahraga.  Indonesia dalam Program Legislasi Nasional ini tahun, dan dalam jangka panjang 2020-2024 berencana membentuk sebuah RUU Omnibus Law, namun berbagai diskusi menunjukkan hal itu Omnibus Law tidak cocok diterapkan di Indonesia karena dianggap tidak demokratis. Sementara itu, Menurut Maria Farida Indrati, Omnibus Law adalah biasa digunakan di negara-negara yang mengadopsi hukum umum sistem. " Selain common law, Omnibus Law juga merupakan hukum yang dihasilkan oleh sistem parlementer, sehingga yang memiliki kekuatan untuk membentuk hukum adalah parlemen, Presiden hanya vetos undang-undang yang dia tidak menyetujui. Dengan sistem parlementer, hanya hokum dibuat oleh DPR tanpa melibatkan publik, sehingga Omnibus Law disebut anti demokrasi. Selain itu, RUU Omnibus Law juga direncanakan untuk itu Program Legislasi Nasional tahun ini sama sekali tidak ada berpengaruh pada jumlah tagihan yang diusulkan oleh House of Perwakilan, Pemerintah dan Daerah Dewan Perwakilan. Apalagi Daerah Dewan Perwakilan, Pemerintah dan Daerah Dewan Perwakilan tidak memiliki konsep yang sama Omnibus Law, sehingga Pemerintah memiliki omnibus sendiri RUU, DPR dan Daerah Dewan Perwakilan juga mengupayakan konsep mereka sendiri tentang Omnibus Law. Ditambah dengan kondisi berbasis normative tentang Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 Indonesia yang menetapkan bahwa pembentukan Undang-Undang di Indonesia berada di bawah kekuasaan DPR Perwakilan, dengan persetujuan bersama dari Presiden. Terdapat peran eksekutif dalam pembentukan hukum di Indonesia, jadi agak susah kalau berkonsep RUU Omnibus Law hanya berasal dari satu pihak yang membentuk hukum. Merujuk pada sistem regulasi di Indonesia, maka Omnibus Law akan memiliki tantangan tersendiri. Sebagai contoh, tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang familiar dengan implementasi regulasi dan regulasi teknis pelaksana. Itu Omnibus Law akan memiliki peraturan pelaksanaan dan regulasi teknis, yang artinya tidak akan secara signifikan mengurangi jumlah undang-undang dan peraturan di Indonesia. Belum lagi, RUU Omnibus Law ini juga akan diimplementasikan di daerah. Kondisi ini menunjukkan hal itu Omnibus Law sebagai strategi harus disusun kembali dalam strategi sistem hukum di Indonesia.

C. Omnibus Law dalam Sistem Hukum

Secara etimologis, kata omnibus berasal dari bahasa latin yang artinya segalanya. Di Indonesia,Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil, pernah berbicara tentang konsep Omnibus Law. Pernyataan ini muncul karena adanya peraturan yang tumpang tindih, khususnya mengenai investasi. Sofyan mencontohkan, saat ada usulan perbaikan regulasi di bidang kehutanan, yang harus direvisi adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun, disana masih terdapat kendala dalam regulasi lain, seperti UU No. 32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan dan Manajemen ( Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup - PPLH) atau UU No. 5/1960 tentang Prinsip Dasar Agraria. Dalam konteks ilmu hukum, konsep Omnibus Law juga dikenal dengan omnibus bill yang sering digunakan di negara-negara yang menganut common law sistem, seperti Amerika Serikat dalam membuat peraturan. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat undang-undang baru untuk mengubah beberapa undang-undang sekaligus.  Sistem Hukum Perdata memiliki Tiga ciri, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat pada presiden sehingga hukum menjadi sumber hukum utama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Ciri pertama atau utama Yang mendasari sistem Hukum Perdata adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena dimanifestasikan dalam regulasi berupa undang-undang dan diatur secara sistematis dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini adalah diadopsi mengingat nilai utama yang menjadi tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya bisa terwujud jika perbuatan hukum manusia dalam kehidupan bermasyarakat diatur dengan peraturan hukum tertulis. Dengan legal ini obyektif dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat dengan bebas membuat undang-undang yang bersifat umum mengikat kekuasaan. Hakim hanya berfungsi untuk menentukan dan menafsirkan regulasi dalam batas kewenangannya. sebuah Putusan hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak dalam perkara tersebut. Ciri kedua dari sistem Hukum Perdata tidak dapat dipisahkan dari doktrin pemisahan kekuatan yang menginspirasi Revolusi Prancis. Menurut Scholten (2003), bahwa maksud sebenarnya dari mengatur organ-organ negara Belanda adalah adanya pemisahan antara kekuatan pembuatan hukum, kekuasaan kehakiman, dan sistem kasasi. Tidak mungkin satu kekuatan mengganggu urusan  lain. Penganut sistem Civil Law memberikan fleksibilitas yang besar bagi hakim untuk memutuskan perkara tanpa perlu mengikuti keputusan hakim sebelumnya.

 

D. Pentingnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja : Untuk Apa, Dan Untuk Siapa?

Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja sudah diserahkan pemerintah ke DPR, dan akan selanjutnya dibahas pemerintah bersama Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Itu RUU Omnibus Law Cipta Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional

Di sisi lain, sebenarnya RUU Omnibus Law penciptaan karya tersebut mengacu pada niat Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, merupakan langkah yang baik untuk mengubah dan menyederhanakan regulasi dan birokrasi dengan menata kembali beberapa regulasi dalam satu undang-undang, Omnibus Law. Lalu, pokok persoalan RUU ini adalah masalah perizinan Menurut Tobing (2020), Pemerintah menginginkan tidak ada lagi tumpang tindih dan ketidakpastian regulasi, dan Harapannya, kondisi iklim investasi bisa lebih kondusif untuk meningkatkan produktivitas dan baru pekerjaan juga. bertujuan untuk mendorong Indonesia masuk dalam kelompok negara maju dengan pendapatan per kapita sebesar US $ 23,2 ribu atau Rp 324,9 juta pada tahun 2045, dan target tersebut merupakan produk domestik bruto nasional kepada mencapai US $ 7,4 triliun, terbesar kelima di dunia (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional - Bappenas, 15 Desember 2019). Oleh karena itu, menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional - Bappenas (2019), pemerintah harus menyelesaikan masalah faktor produktivitas rendah, melalui perbaikan kualitas sumber daya manusia, penyederhanaan regulasi dan birokrasi, serta penelitian dan pengembangan dari sektor swasta. Kemudian, seiring berjalannya waktu, RUU Omnibus Law “ Cipta Kerja ” menuai banyak kritik dari berbagai kalangan para pihak karena dianggap penyusunan RUU tersebut tidak partisipatif. Dalam hal ini, Proses pembahasan hukum harus dilakukan secara transparan, inklusif dan partisipatif.  Implikasi dari ketidakhadiran tersebut adalah hasil RUU tersebut diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR.   Ada beberapa perbedaan dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebabkan masalah pada kali ini. . Berdasarkan perspektif yang mengkritisi RUU Omnibus Law Cipta Kerja , mereka adalah dari pihak berpendapat bahwa pasal-pasal dalam RUU tersebut hanya menguntungkan pengusaha, namun di sisi lain tidak melindungi pekerja.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja   

No.

Topik

Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan

Omnibus Law "Cipta Kerja" RUU (RUU)

1

Waktu libur dan pergi

 

 

a.Istirahat Mingguan

Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK) menyebutkan: Istirahat mingguan selama 1 (satu) hari selama 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari selama 5 (lima) hari kerja dalam 1  minggu;

Rancangan Undang-Undang "Cipta Kerja",aturan 5 hari kerja dihapus. Jadi berbunyi: Istirahat mingguan selama 1 (satu) hari selama 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu

 

B.Istirahat panjang

 

Pasal 79 Ayat 2.d Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) menyebutkan: Jangka waktu istirahat yang panjang minimal 2 (dua) bulan dan dilaksanakan dalam tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus. Terus menerus di perusahaan yang sama dengan ketentuan bahwa pekerja / buruh tidak lagi berhak atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun saat ini dan setelahnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Draf "Cipta Kerja" RUU menyerahkan peraturan terkait hak cuti panjang Perusahaan. RUU "Cipta Kerja"termasuk hak untuk mengambil cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja / buruh yang telah bekerja selama 6 tahun terus menerus dan menyerahkan aturan tersebut kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati

 

 

 

 

c.Haid

Pasal 81 UUK mengatur agar pekerja perempuan/buruh bisa mendapatkan libur saat hari menstruasi pertama dan hari kedua menstruasi

Draf RUU "Cipta Kerja" belum termasuk hak cuti haid bagi perempuan. RUU "Cipta Kerja" tidak menuliskan hak cuti haid pada

hari kedua menstruasi yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan

d.Cuti hamil

Pasal 82 UUK mengatur mekanisme cuti melahirkan bagi pekerja perempuan. Ini juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja perempuan / buruh yang mengalami Keguguran

Draf RUU "Cipta Kerja" tidak mencakup status pembahasan, amandemen atau penghapusan dalam pasal tersebut

 

 

 

 

 

e.Hak menyusui

 

 

 

 

Pasal 83 UUK menetapkan bahwa pekerja perempuan/buruh yang anaknya masih menyusui harus diberikan kesempatan yang tepat untuk menyusui anaknya jika hal ini harus dilakukan pada waktu kerja.

Draf RUU "Cipta Kerja" tidak mencakup status pembahasan, amandemen atau penghapusan dalam pasal tersebut

 

f.Pergi untuk Ibadah Keagamaan

Pasal 80 UUK menyebutkan: Pengusaha diwajibkan memberikan kesempatan yang memadai bagi pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah diwajibkan oleh agama mereka.

Draf RUU "Cipta Kerja" tidak mencakup status pembahasan, amandemen atau penghapusan dalam pasal tersebut

2

Upah

 

 

a.Hasil dan waktu upah satuan

Tidak diatur dalam UUK sebelumnya

Adanya upah satuan dan waktu. Upah hasil unit adalah upah yang ditentukan berdasarkan satu kali, seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara itu, upah hasil unit adalah upah yang ditentukan berdasarkan hasil pekerjaan yang telah disepakati.

b.Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota

Upah minimum ditetapkan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan sektoral. Berdasarkan Pasal 89 UUK, setiap daerah diberikan hak untuk menetapkan sendiri kebijakan Upah minimum baik di tingkat provinsi maupun Tingkat kabupaten/kota

Meniadakan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), sehingga penetapan upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP)

c.Bonus

Tidak diatur dalam UUK sebelumnya

Memberikan bonus, atau hadiah lainnya untuk pekerja sesuai dengan masa jabatan mereka. Bonus tertinggi adalah lima kali upah untuk pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih

d.Rumus selisih menghitung upah minimum

Rumus yang digunakan adalah UMt + {UMt, x (INFLATION +% ∆ PDBt)}

 

Catatan::

UMn: Upah minimum yang ditetapkan

UMt: Upah minimum tahun berjalan Inflasit: Inflasi dihitung dari periode September tahun lalu hingga periode September tahun berjalan

∆ GDPt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dihitung dari pertumbuhan PDB yang mencakup kuartal ketiga dan keempat tahun dan kuartal pertama dan kedua tahun berjalan

Rumus yang digunakan adalah UMt + 1 = UMt + (UMt x% PEt)

 

Catatan::

UMt: Upah minimum untuk PEt tahun berjalan: Pertumbuhan ekonomi tahunan

Tidak ada inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah

3

Pembayaran pesangon

 

 

a.Penggantian

Diatur dalam pasal 156 (4) UUK

Tidak ada uang kompensasi

Hak

 

 

a.Periode Remunerasi Layanan

Diatur dalam pasal 156 (3) UUK

Uang penghargaan layanan 24 tahun dihapuskan. RUU "Cipta Kerja" menghapus poin H dalam pasal 156 ayat 3 mengenai uang imbalan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 24 tahun atau lebih dimana pekerja/buruh harus menerima imbalan uang sebanyak 10 orang upah berbulan-bulan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

b.Pembayaran pesangon

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pasal 161 UUK menyebutkan:

(1)   Dalam hal pekerja/buruh melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara bermusyutan. Berpartisipasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Menghapuskan pesangon membayar pekerja/buruh yang di-PHK karena surat peringatan. Padahal, Pasal 161 Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) menyebutkan bahwa pekerja/buruh yang telah di-PHK karena telah menerima surat peringatan berhak menerima bayaran pesangon.

 

• Menghapuskan pesangon membayar pekerja/buruh yang di-PHK akibat merger, perubahan status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh yang kena PHK akibat perubahan status kepemilikan perusahaan tidak akan lagi diberikan pembayaran pesangon oleh perusahaan asal, karena hal ini telah dihapus dalam RUU "Cipta Kerja".

 

• Menghapuskan pesangon membayar pekerja/buruh yang di-PHK karena perusahaan kehilangan 2 tahun dan bangkrut. Pemerintah telah menghapus pasal 164 dan 165 UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Karya. Sehingga nantinya pekerja/buruh yang di-PHK karena perusahaan mengalami kerugian dan
 bangkrut tidak akan menerima bayaran pesangon.

• Menghapuskan santunan berupa pesangon membayar ahli waris atau keluarganya jika pekerja/buruh meninggal dunia. Rancangan Undang-Undang "Cipta Kerja" juga telah menghilangkan pemberian santunan berupa pembayaran pesangon, hak membayar ganti rugi selama bertahun-tahun pelayanan dan kompensasi atas hak ahli waris yang tertinggal.

 

• Menghapuskan pesangon membayar pekerja/buruh yang di-PHK karena hendak memasuki usia pensiun. Pemerintah telah menghapuskan pasal 167 UUK, yang mengatur pembayaran pesangon bagi pekerja/buruh yang di-PHK karena memasuki usia pensiun.

 

Pasal 163 (1) UUK menyebutkan:

Pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja pekerja/buruh apabila terjadi perubahan status, penggabungan, konsolidasi, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pekerja/buruh berhak atas pembayaran pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan. Pasal 156 ayat (2), imbalan uang untuk masa kerja 1 (satu) kali sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (3) dan ganti rugi hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

 

 

Pasal 164 dan 165 UUK menetapkan bahwa pekerja/buruh yang di-PHK karena perusahaan merugi dan bangkrut berhak membayar pesangon.

 

 

Pasal 166 UUK mengatur hak-hak pekerja 'atau keluarga pekerja'. Jika pekerja atau pekerja meninggal, majikan harus memberikan uang kepada ahli waris.

 

 

Pasal 167 UUK mengatur pesangon membayar pekerja/buruh yang di-PHK karena memasuki usia pensiun.

 

4

Jaminan Sosial

 

 

 

a.Jaminan Pensiun

 

Pasal 167 ayat (5) UUK menyebutkan: Dalam hal seorang pengusaha tidak termasuk pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun dalam program pensiun, pengusaha wajib memberikan pekerja/buruh dengan pembayaran pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). ), imbalan uang untuk masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan

kompensasi uang untuk hak sesuai dengan

ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak termasuk pekerja/buruh dalam program pengamanan pensiun. Dengan menghapus pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan "Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), akan dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan maksimum Rp. 500.000.000,00 (lima seratus juta rupiah) "

b.Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Tidak diatur dalam UUK sebelumnya

Tambah program jaminan sosial baru, Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan berbasis asuransi sosial

Prinsip

5

Pemutusan Hubungan Kerja

 

 



















Alasan perusahaan diizinkan untuk memberhentikan














Melihat UU Ketenagakerjaan, ada 9 alasan perusahaan dapat melakukan PHK seperti:

• Perusahaan bangkrut

• Perusahaan tutup karena kerugian

• Perubahan status perusahaan

• Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja

• Pekerja / buruh melakukan kesalahan serius

• Pekerja / buruh memasuki usia pensiun

• Pekerja / buruh mengundurkan diri

• Pekerja / buruh meninggal

• Pekerja / buruh tidak hadir


RUU "Cipta Kerja" menambah 5 poin lagi alasan perusahaan melakukan PHK, antara lain:

• Perusahaan melakukan efisiensi

• Perusahaan melakukan merger, konsolidasi, akuisisi atau pemisahan perusahaan

• Perusahaan dalam keadaan menunda kewajiban pembayaran utang

• Perusahaan melakukan tindakan yang merugikan pekerja / buruh

• Pekerja/ buruh mengalami penyakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melaksanakan pekerjaannya setelah

 melebihi batas 12 (dua belas) bulan.

6

Status ketenagakerjaan

Pasal 59 UUK mengatur bahwa pekerja dikenakan perjanjian kerja jangka tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu - PKWT) selama maksimal 2 tahun, maka dapat diperpanjang lagi dalam waktu 1 tahun.

Menghapuskan pasal 59 UUK yang mengatur syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Dengan penghapusan artikel ini, tidak ada batasan pada aturan bahwa pekerja dapat dikontrak, akibatnya pekerja dapat menjadi pekerja kontrak untuk

Kehidupan.

7

Jam kerja

Pekerjaan lembur maksimum hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

Draf "RUU Cipta Kerja berencana memperpanjang lembur hingga maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

8

Outsourcing

Undang-undang tentang penggunaan outsourcing terbatas dan hanya untuk pekerja di luar bisnis utama.

RUU "Cipta Kerja" akan membuka kemungkinan bagi instansi outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu. Ini akan membuat penggunaan daya outsourcing lebih bebas

9

Tenaga Kerja Asing (Tenaga Kerja Asing – TKA)

Pasal 42 ayat 1 UUK menyebutkan:

Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan memiliki izin tertulis dari

Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Dalam draf RUU "Cipta Kerja", izin tertulis dari TKA diganti dengan persetujuan rencana penggunaan TKA

 

 

 

Pasal 43 ayat 1 Seorang pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang telah disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

 

Pasal 44 ayat 1; Pengusaha pekerja asing diwajibkan untuk mematuhi

ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

Pasal 43 tentang rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat untuk mendapatkan izin kerja dimana dalam RUU "Cipta Kerja", informasi mengenai masa penugasan ekspatriat, pengangkatan pekerja menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat ditiadakan

 

 

 

Pasal 44 tentang kewajiban mematuhi ketentuan mengenai

dan kompetensi tenaga kerja asing dihapus.

 

 

IV. KESIMPULAN

 

Omnibus Law dipilih sebagai strategi untuk mengatasinya tantangan dan kendala regulasi di Indonesia, karena dipercaya memiliki beberapa keunggulan dalam menerapkan konsep Omnibus Law yang digunakan oleh beberapa orang negara, sambil menangani vertikal dan horizontal konflik kebijakan publik secara efektif dan efisien, menyelaraskan kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat dan di daerah, serta jaminan kepastian hukum dan hokum perlindungan bagi pembuat kebijakan. Omnibus Law belum mampu menjadi strategi untuk mengurai regulasi masalah di Indonesia, karena peraturan perundang-undangan sistem di Indonesia membutuhkan peraturan pelaksana dan melaksanakan regulasi teknis suatu undang-undang. tidak untuk menyebutkan sistem pembentukan hukum di Indonesia yang mana tidak di parlemen, tapi di kekuasaan legislatif itu membutuhkan persetujuan bersama dari eksekutif RUU Omnibus Law Cipta Kerja cenderung berpotensi mereduksi hak setiap orang untuk bekerja dan menerima kompensasi dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 28D UUD 1945 dan lain-lain. Dalam hal ini RUU Omnibus Law Cipta Karya memiliki aspek yang lebih merugikan Selain aspek manfaat jika dilihat dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis serta aspek proses penyusunan yang tidak transparan dan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia - DPR RI harus memiliki komitmen dan kemauan politik yang tinggi dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan berdasarkan prinsip kejelasan tujuan dan prinsip kelembagaan yang sesuai.

Komentar........

Lebih baru Lebih lama