OMNIBUS LAW “CIPTA KERJA” : KONSEP
DAN PENGARUHNYA BAGI INDONESIA
Kelpin Dwi Amanda (01010582024138)
1A6
Jurusan D3 Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sriwijaya
Email : kelpindwiamanda@gmail.com
Pembimbing : Nurhidayatuloh SHI., S.Pd., SH., LL.M., MH., MHI
ABSTRAK - Rencana pembentukan undang-undang
dengan konsep Omnibus Law terus bergulir dan mewarnai kebijakan publik
itu akan diambil oleh Pemerintah Indonesia. RUU dengan
konsep Omnibus Law terus difinalisasi dengan pro dan kontra dalam
proses pembentukannya. Apapun itu, konsep Omnibus Law ditawarkan
sebagai sebuah solusi dari masalah regulasi di Indonesia yang mana sudah
terlalu hiper dan tidak harmonis. Sebagai solusinya, Omnibus Law di level
kebijakan publik adalah strategi. Strategi diluncurkan oleh
Pemerintah untuk mengatasi kendala dan tantangan. Pertanyaannya
mengapa konsep Omnibus Law dipilih sebagai strategi Pemerintah untuk menangani
hambatan regulasi? Apakah Omnibus Law bisa menjadi strategi yang
tepat untuk mengatasi masalah regulasi di Indonesia. Masalah
ini adalah diselesaikan dengan menggunakan jenis penelitian
kualitatif menggunakan pendekatan hukum berdasarkan data sekunder dan
dilengkapi dengan data primer diperoleh melalui wawancara.
Kata kunci: Omnibus Law, hukum, regulasi
I. PENDAHULUAN
Istilah Omnibus Law telah bergema Indonesia
sejak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyampaikan pidato pertamanya
dalam pidatonya pelantikan pada 20 Oktober 2019. Ide dari Omnibus Law menjadi
perbincangan diantara para pembuat hokum lembaga selain Pemerintah yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia. Dalam Legislasi Nasional Program 2020-2024, RUU yang diusulkan
dengan konsep Omnibus Law adalah 3 (tiga) dari 248 RUU, yakni RUU Cipta
Lapangan Kerja; Draf Bill tentang Pengembangan dan Penguatan Keuangan
Sektor; dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk
Keterlibatan Ekonomi. Omnibus berasal dari kata Latin omnis yang artinya
"semua". jika dikaitkan dengan konsep hukum di Black Law Dictionary,
omnibus artinya banyak benda atau barang sekaligus; banyak hal atau
memiliki berbagai tujuan. Sebagai apa yang telah dirilis, dan
diketahui melalui penelitian dan situs web, jumlah undang-undang dan peraturan
di Indonesia sudah mencapai tahap hyper regulation atau
kegemukan. Misalnya pada website peraturan.go.id, untuk Misalnya,
diketahui bahwa sudah ada 1687 undang-undang, 180 Peraturan Pemerintah sebagai
pengganti undang-undang, 4558 Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden 2008,
Peraturan Menteri 14722, Peraturan Non-Institusi Pemerintah Kementerian 3758,
Regional Peraturan 15965. Dalam kondisi
regulasi Indonesia, Konsep Omnibus Law menjadi perhatian dan menawarkan strategi
untuk menyederhanakan regulasi di Indonesia. Namun, pertanyaannya yang
mengemuka itulah mengapa konsep Omnibus Law itu dipilih sebagai strategi untuk
ditangani oleh Pemerintah hambatan regulasi? dan Apakah Omnibus Law bisa
menjadi strategi yang tepat untuk mengatasi masalah regulasi di Indonesia.
Saat ini keberadaan tenaga kerja dan tenaga
kerja merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam dunia industry
dan seperti dua sisi mata uang. Dalam hal ini, jika tidak ada buruh, maka
pengusaha pasti tidak mampu menjalankan usahanya sesuai dengan tujuan dan
sasaran bisnis yang ditetapkan. Di samping itu, Pekerja juga tidak akan
bisa bertindak semena-mena atas kemauannya menuntut kepuasan kerja saat
menjalankannya keluar semua kewajiban mereka sebagai pekerja atau pekerja di
tempat kerja. Kepuasan kerja adalah perasaan positif dan sikap karyawan
tentang pekerjaan mereka dan bergantung pada banyak faktor yang terkait dengan
pekerjaan, termasuk sifatnya pekerjaan (tugas yang terlibat, dan minat serta
tantangan yang dihasilkan pekerjaan), tingkat kompensasi, dan persepsi keadilan
sistem promosi dalam suatu perusahaan. , kualitas kondisi kerja, gaya
manajemen, hubungan sosial di tempat kerja, peraturan ketenagakerjaan dan
lain-lain. Kemudian, sikap kerja pekerja dan tenaga kerja secara positif
terkait dengan kesejahteraan pribadi secara umum, berupa kepuasan kerja yang
dapat meningkatkan produktivitas sehingga akan memberikan kontribusi yang
signifikan bagi perusahaan pencapaian tujuan dan sasaran perusahaan. Dalam
beberapa tahun terakhir, para ahli menyatakan bahwa perhatian intens yang harus
difokuskan dan diterapkan oleh pengusaha pada pekerja dan pekerjaan buruh
adalah sebuah upaya membangun keterikatan kerja dan menciptakan keadaan
termotivasi yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penyerapan dalam
pekerjaan seseorang. Dengan demikian, hubungan antara pengusaha dan
pekerja dapat diartikan sebagai sebuah masalah strategis karena pemilik bisnis
perlu memperhatikan hubungan ini jika mereka menginginkan bisnis mereka untuk
berkembang dan menjadi sukses. Dalam hal ini, aturan khusus harus ditetapkan,
hokum berkaitan dengan hubungan antara pengusaha dan pekerja. Negara Indonesia
adalah negara hukum menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen ketiga
disahkan pada 10 November 2001, dan penegasan ketentuan ini Undang-undang berarti bahwa segala aspek kehidupan
bermasyarakat, bernegara, dan pemerintahan harus berdasarkan hukum. Karena
itu, untuk menciptakan negara hukum yang salah satunya membutuhkan perangkat
hukum yang digunakan untuk mengatur keseimbangan dan keadilan di semua bidang kehidupan dan mata pencaharian
masyarakat melalui peraturan perundang-undangan tanpa mengesampingkan fungsi yurisprudensi. Dengan kata lain, sebenarnya
peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan negara hukum Indonesia sehingga semua peraturan perundang-undangan
yang diatur tentang hak dan kewajiban warga negara harus selalu memiliki hukum
tertulis yang jelas. Dalam konteks ini, landasan utama persalinan dan
hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Dengan demikian, undang-undang ketenagakerjaan dan ketenagakerjaan
di Indonesia harus ditaati oleh semua warga negara, dalam konteks kekinian
berkenaan dengan undang-undang tertentu dan regulasi terkait hubungan antara
pengusaha (pemberi kerja) dan pekerja di Indonesia, pihak Omnibus Law RUU Omnibus Law Cipta
Kerja ( Rancangan Undang-Undang - RUU) adalah
disampaikan oleh Pemerintah pada akhir tahun 2019 oleh Presiden Republik
Indonesia Joko Widodo. Pemerintah sudah menyerahkan Surat
Presiden, RUU Omnibus Law Cipta Kerja , dan RUU
Naskah Akademik kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) tanggal 12
Februari, 2020. RUU Omnibus Law “Omnibus Law“ Cipta Kerja ”dirancang
untuk menjawab kebutuhan pekerja, UKM, dan industri. Dari perspektif Pemerintah Republik, ia berpendapat bahwa UU
Omnibus dari Omnibus Hukum “ Cipta
Kerja” Bill ( Rancangan
Undang-Undang - RUU) ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian
nasional dan memperbaiki iklim investasi yang lebih kondusif Pemerintah Republik
Indonesia menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI). untuk dibahas dan dimintakan persetujuan menurut
konstitusi. Namun, masalah yang muncul di tingkat ahli terkait Omnibus Law “ Cipta Kerja ” sebagai berikut: untuk apa dan untuk siapa ?. Dari perspektif
berbagai pihak non-pemerintah, Para ahli menilai RUU Omnibus
Law Cipta Kerja menuai banyak
kritik. Hasil dari Forum Kelompok Diskusi (FGD) hari ini, Rabu (26/2/2020) di
Universitas Andalas menyimpulkan bahwa Field Creation Law Kerja atau yang banyak dikenal dengan Omnibus Law RUU “ Cipta Kerja” adalah
RUU Omnibus Law bermasalah dan merekomendasikan DPR RI untuk membahasnya secara
serius dengan memperjuangkan kepentingan rakyat. Akademisi sivitas akademika Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mencatat hal-hal sebagai berikut,
pertama pada aspek
filosofis, spirit atau spirit dibalik metode Omnibus Law dalam “ Cipta Kerja ” RUU, semata-mata untuk kepentingan investasi, bukan dalam rangka
harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua, jelasnya, dari aspek
sosiologis, pertanyaan terbesarnya adalah apakah masyarakat kita membutuhkan
undang-undang ini? Kemudian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
menyatakan ada beberapa yang sangat perbedaan signifikan dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
.. Omnibus Law “ Cipta Kerja”
RUU yang notabene berhasrat memotong regulasi justru akan
melahirkan 493 (empat ratus sembilan puluh tiga) Peraturan Pemerintah, 19 (sembilan belas) Peraturan Presiden, dan
4 (empat) Peraturan Daerah baru jadi agar mereka bisa lari. Artinya, terdapat 516 (lima ratus enam
belas) peraturan pelaksana baru yang mengeluarkan Omnibus
Hukum “ Cipta Kerja” Bill
(Omnibus Hukum Ringkasan Eksekutif dari para
RUU Omnibus Law “ Cipta
Kerja” : Obsesi Pembangunan yang
Membawa Ruang dan Pengorbanan Pekerja. Dari berbagai uraian yang telah
dikemukakan, peneliti
tertarik untuk melakukan studi komprehensif dengan mendeskripsikan secara
yuridis dan historis aspek implementasi UU Ketenagakerjaan dan menganalisis
pentingnya Omnibus Law “ Cipta
Kerja” Bill di Indonesia. Kemudian
penelitian ini dikembangkan dengan tujuan untuk menganalisis dan menganalisanya hubungan dengan usul
Pemerintah Republik Indonesia tentang efektivitas dari UU Omnibus “ Cipta
Kerja” Bill dalam menyelesaikan
peraturan yang tumpang tindih di Indonesia sehingga akan berkontribusi untuk
mempercepat aliran arus modal investasi.
II. METODE
PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitatif. Itu Pendekatan yang digunakan adalah normatif untuk
mempersoalkan Omnibus Law strategi sebagai pemecah masalah untuk regulasi yang
tumpang tindih di Indonesia. Studi ini sangat mengandalkan data sekunder.
A. Omnibus Sebagai
Strategi Penyederhanaan Regulasi
Masalah hiper regulasi di Indonesia sudah
dimunculkan oleh berbagai penelitian termasuk dampaknya terhadap peraturan yang
tumpang tindih. Pusat Hukum dan Kebijakan Studi, misalnya mencatat bahwa
dari Oktober 2014 hingga 2018, ada sekitar 7.621 peraturan menteri.
Sedangkan jumlah
peraturan presiden yang dihasilkan selama empat tahun terakhir hanya 765 dan
pemerintahan peraturan sebesar 452. . Dari jumlah ini dapat dikatakan
bahwa memang jumlah undang-undang dan regulasi di Indonesia terlalu
banyak. Dengan jumlah ini, menurut Indeks Kualitas Regulasi yang
dikeluarkan oleh Bank Dunia, posisi Indonesia selama 1966-2017 telah selalu
menduduki peringkat 92 dari 193 negara.
Kondisi regulasi hiper dan obesitas menyebabkan Indonesia untuk
menangani masalah hukum yang tumpang tindih. Inkonsistensi dan
ketidakharmonisan yang disebabkan oleh regulasi yang berlebihan menjadi salah
satu faktor utama penghambat Indonesia daya saing. Padahal daya saing
suatu bangsa menentukan kemampuan suatu negara untuk menarik investor negara
mereka. Kondisi Indonesia daya saing dipengaruhi oleh indikasi kurangnya kemudahan
berbisnis di indonesia, begitu pula investor kurang tertarik berinvestasi di
indonesia. Hal ini karena, menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki
multi-layered prosedur, setidaknya 10 tahap dengan perkiraan 19,6 hari. Ini
menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 190 negara dengan mudah bisnis dan
peringkat ke-50 sebagai negara yang kompetitif, atau turun ke posisi kelima
pada tahun 2018. Secara etimologis,
strategi merupakan langkah untuk mengatasi rintangan, terima tantangan.
Satu kendala dialami menurut Indonesia adalah proses birokrasi yang begitu
banyak peraturan menghalangi investasi dan daya saing. Itu tantangan,
pembangunan di era masyarakat digital dan era ketidakpercayaan menuntut negara
untuk bersiap menghadapi kualitas sumber daya manusia, produktivitas, inovasi
dan kesiapan daya saing. Sebagai tambahan, tantangan yang akan dihadapi
Indonesia dalam bonus demografi pada tahun 2045. Tantangan lain yang dihadapi
termasuk infrastruktur pembangunan disertai dengan reformasi struktural dan memperkuat
kompetensi sumber daya manusia. Jika dijelaskan, tantangan yang akan dihadapi
Indonesia yaitu perkembangan internet dan penggunaan digital teknologi di
Indonesia, banyaknya usia produktif populasinya mencapai 68% atau setara dengan
200 juta orang pada tahun 2030, dan ketimpangan ekonomi yang tercermin dari
kemiskinan di kawasan timur Indonesia 18,01 persen, 10,3 persen di barat, dan
perkotaan 7,02 persen. Sedangkan ketimpangan pendapatan di perdesaan sebesar
0,324 dan daerah perkotaan adalah 0,4. Omnibus dipilih sebagai strategi untuk
mengatasinya tantangan dan kendala regulasi di Indonesia, karena diyakini
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan Penerapan konsep Omnibus Law
digunakan oleh beberapa orang negara, antara lain:
1. Mengatasi publik vertikal dan horizontal konflik kebijakan
secara efektif dan efisien;
2. Harmonisasi kebijakan pemerintah, baik pada tingkat pusat dan
daerah;
3. Lebih menyederhanakan proses perizinan terintegrasi dan
efektif;
4. Memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit;
5. Meningkatkan koordinasi antar yang terkait lembaga karena
diatur dalam sebuah kebijakan terintegrasi;
6. Memberikan jaminan kepastian hukum dan hokum perlindungan bagi
pembuat kebijakan
B. Omnibus Dalam Sistem
Regulasi Indonesia
Dengan segala kelebihan
yang diemban oleh Omnibus Law kepada mengatasi hambatan dan tantangan yang
dihadapi Indonesia dalam Dari segi regulasi, yang sering diperdebatkan oleh
kalangan akademisi adalah soal kesesuaian sistem hokum undang-undang di
Indonesia. Omnibus Law diyakini bisa menjadi sesuatu yang bisa memecahkan
masalah regulasi, yaitu hyper dan overlapping.Harmonisasi tidak lagi dianggap
sebuah strategi yang mumpuni untuk memecahkan masalah. Omnibus Law penerobosan.
Omnibus memang dihitung sebagai strategi yang dilakukan oleh beberapa negara,
seperti Amerika Serikat, Belgia dan Inggris, meskipun untuk
mengimplementasikannya, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit dan waktu yang
dibutuhkan tidak pendek. Namun, Omnibus dianggap mampu, karena berhubungan
dengan atau berurusan dengan berbagai objek di sekali, termasuk banyak hal atau
memiliki berbagai tujuan. Praktek Omnibus
Law yang sering disebut adalah sistem yang digunakan oleh negara Serbia. Serbia
mengadopsi Omnibus Law pada tahun 2002 yang mengatur status otonom Provinsi Vojvodina yang termasuk dalam
Serbia. Hukum mencakup yurisdiksi pemerintah provinsi Vojvodina mengenai
budaya, pendidikan, bahasa, media, kesehatan, sanitasi, asuransi kesehatan,
pensiun, perlindungan sosial, pariwisata, pertambangan, pertanian, dan
olahraga. Indonesia dalam Program
Legislasi Nasional ini tahun, dan dalam jangka panjang 2020-2024 berencana
membentuk sebuah RUU Omnibus Law, namun berbagai diskusi menunjukkan hal itu Omnibus
Law tidak cocok diterapkan di Indonesia karena dianggap tidak
demokratis. Sementara itu, Menurut Maria Farida Indrati, Omnibus Law
adalah biasa digunakan di negara-negara yang mengadopsi hukum umum sistem.
" Selain common law, Omnibus Law juga merupakan hukum yang dihasilkan oleh
sistem parlementer, sehingga yang memiliki kekuatan untuk membentuk hukum
adalah parlemen, Presiden hanya vetos undang-undang yang dia tidak
menyetujui. Dengan sistem parlementer, hanya hokum dibuat oleh DPR tanpa
melibatkan publik, sehingga Omnibus Law disebut anti demokrasi. Selain itu, RUU
Omnibus Law juga direncanakan untuk itu Program Legislasi Nasional tahun ini
sama sekali tidak ada berpengaruh pada jumlah tagihan yang diusulkan oleh House
of Perwakilan, Pemerintah dan Daerah Dewan Perwakilan. Apalagi Daerah
Dewan Perwakilan, Pemerintah dan Daerah Dewan Perwakilan tidak memiliki konsep
yang sama Omnibus Law, sehingga Pemerintah memiliki omnibus sendiri RUU, DPR
dan Daerah Dewan Perwakilan juga mengupayakan konsep mereka sendiri tentang Omnibus
Law. Ditambah dengan kondisi berbasis normative tentang Pasal 20
Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 Indonesia yang menetapkan bahwa
pembentukan Undang-Undang di Indonesia berada di bawah kekuasaan DPR
Perwakilan, dengan persetujuan bersama dari Presiden. Terdapat peran eksekutif
dalam pembentukan hukum di Indonesia, jadi agak susah kalau berkonsep RUU Omnibus
Law hanya berasal dari satu pihak yang membentuk hukum. Merujuk pada sistem
regulasi di Indonesia, maka Omnibus Law akan memiliki tantangan
tersendiri. Sebagai contoh, tentang jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang familiar dengan implementasi regulasi dan
regulasi teknis pelaksana. Itu Omnibus Law akan memiliki peraturan
pelaksanaan dan regulasi teknis, yang artinya tidak akan secara signifikan
mengurangi jumlah undang-undang dan peraturan di Indonesia. Belum lagi,
RUU Omnibus Law ini juga akan diimplementasikan di daerah. Kondisi ini
menunjukkan hal itu Omnibus Law sebagai
strategi harus disusun kembali dalam strategi sistem hukum di Indonesia.
C. Omnibus Law dalam
Sistem Hukum
Secara etimologis, kata omnibus berasal dari
bahasa latin yang artinya segalanya. Di Indonesia,Menteri Agraria dan Tata
Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil, pernah berbicara
tentang konsep Omnibus Law. Pernyataan ini muncul karena adanya peraturan
yang tumpang tindih, khususnya mengenai investasi. Sofyan mencontohkan,
saat ada usulan perbaikan regulasi di bidang kehutanan, yang harus direvisi
adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun, disana masih terdapat
kendala dalam regulasi lain, seperti UU No. 32/2009 tentang Perlindungan
Lingkungan dan Manajemen ( Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup - PPLH) atau UU No. 5/1960 tentang Prinsip Dasar
Agraria. Dalam konteks ilmu hukum, konsep Omnibus Law juga dikenal dengan
omnibus bill yang sering digunakan di negara-negara yang menganut common law sistem,
seperti Amerika Serikat dalam membuat peraturan. Regulasi dalam konsep ini
adalah membuat undang-undang baru untuk mengubah beberapa undang-undang
sekaligus. Sistem Hukum Perdata memiliki Tiga ciri, yaitu adanya
kodifikasi, hakim tidak terikat pada presiden sehingga hukum menjadi sumber
hukum utama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Ciri pertama
atau utama Yang mendasari sistem Hukum Perdata adalah hukum memperoleh kekuatan
mengikat, karena dimanifestasikan dalam regulasi berupa undang-undang dan
diatur secara sistematis dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini adalah diadopsi
mengingat nilai utama yang menjadi tujuan hukum adalah kepastian
hukum. Kepastian hukum hanya bisa terwujud jika perbuatan hukum manusia
dalam kehidupan bermasyarakat diatur dengan peraturan hukum
tertulis. Dengan legal ini obyektif dan berdasarkan sistem hukum yang
dianut, hakim tidak dapat dengan bebas membuat undang-undang yang bersifat umum
mengikat kekuasaan. Hakim hanya berfungsi untuk menentukan dan menafsirkan
regulasi dalam batas kewenangannya. sebuah Putusan hakim dalam suatu
perkara hanya mengikat para pihak dalam perkara tersebut. Ciri kedua dari
sistem Hukum Perdata tidak dapat dipisahkan dari doktrin pemisahan kekuatan
yang menginspirasi Revolusi Prancis. Menurut Scholten (2003), bahwa maksud
sebenarnya dari mengatur organ-organ negara Belanda adalah adanya pemisahan
antara kekuatan pembuatan hukum, kekuasaan kehakiman, dan sistem
kasasi. Tidak mungkin satu kekuatan mengganggu urusan lain. Penganut sistem Civil Law
memberikan fleksibilitas yang besar bagi hakim untuk memutuskan perkara tanpa perlu
mengikuti keputusan hakim sebelumnya.
D.
Pentingnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja : Untuk Apa,
Dan Untuk Siapa?
Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja sudah
diserahkan pemerintah ke DPR, dan akan selanjutnya dibahas pemerintah bersama
Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Itu RUU Omnibus Law Cipta
Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian
nasional
Di sisi lain, sebenarnya RUU Omnibus Law
penciptaan karya tersebut mengacu pada niat Presiden Republik Indonesia, Joko
Widodo, merupakan langkah yang baik untuk mengubah dan menyederhanakan regulasi
dan birokrasi dengan menata kembali beberapa regulasi dalam satu undang-undang,
Omnibus Law. Lalu, pokok persoalan RUU ini adalah masalah perizinan Menurut
Tobing (2020), Pemerintah menginginkan tidak ada lagi tumpang tindih dan
ketidakpastian regulasi, dan Harapannya, kondisi iklim investasi bisa lebih
kondusif untuk meningkatkan produktivitas dan baru pekerjaan
juga. bertujuan untuk mendorong Indonesia masuk dalam kelompok negara maju
dengan pendapatan per kapita sebesar US $ 23,2 ribu atau Rp 324,9 juta pada
tahun 2045, dan target tersebut merupakan produk domestik bruto nasional kepada
mencapai US $ 7,4 triliun, terbesar kelima di dunia (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional - Bappenas, 15 Desember 2019). Oleh karena itu,
menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional - Bappenas (2019),
pemerintah harus menyelesaikan masalah faktor produktivitas rendah, melalui
perbaikan kualitas sumber daya manusia, penyederhanaan regulasi dan birokrasi,
serta penelitian dan pengembangan dari sektor swasta. Kemudian, seiring
berjalannya waktu, RUU Omnibus Law “ Cipta Kerja ”
menuai banyak kritik dari berbagai kalangan para pihak karena dianggap
penyusunan RUU tersebut tidak partisipatif. Dalam hal ini, Proses
pembahasan hukum harus dilakukan secara transparan, inklusif dan
partisipatif. Implikasi dari ketidakhadiran tersebut adalah hasil RUU
tersebut diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR. Ada beberapa perbedaan dengan UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, menyebabkan masalah pada kali ini. . Berdasarkan
perspektif yang mengkritisi RUU Omnibus Law Cipta Kerja ,
mereka adalah dari pihak berpendapat bahwa pasal-pasal dalam RUU tersebut hanya
menguntungkan pengusaha, namun di sisi lain tidak melindungi pekerja.
Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan RUU Cipta
Kerja
No. |
Topik |
Undang-Undang (UU) No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan |
Omnibus Law "Cipta Kerja"
RUU (RUU) |
1 |
Waktu
libur dan pergi |
|
|
a.Istirahat Mingguan |
Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK)
menyebutkan: Istirahat mingguan selama 1 (satu) hari selama 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu atau
2 (dua) hari
selama 5 (lima) hari kerja dalam 1
minggu; |
Rancangan
Undang-Undang "Cipta Kerja",aturan 5 hari kerja dihapus. Jadi berbunyi: Istirahat
mingguan selama 1 (satu) hari selama 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu |
|
|
B.Istirahat panjang |
Pasal 79 Ayat 2.d Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) menyebutkan: Jangka waktu istirahat
yang panjang minimal 2
(dua) bulan
dan dilaksanakan dalam
tahun ketujuh
dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus. Terus menerus di
perusahaan yang sama dengan ketentuan bahwa pekerja / buruh tidak lagi berhak
atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun saat ini dan setelahnya berlaku
untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. |
Draf "Cipta
Kerja" RUU menyerahkan peraturan terkait hak cuti panjang Perusahaan. RUU "Cipta Kerja"termasuk hak untuk mengambil cuti
panjang selama 2 bulan bagi pekerja / buruh yang telah bekerja selama 6 tahun
terus menerus dan menyerahkan aturan tersebut kepada perusahaan atau
perjanjian kerja sama yang disepakati |
|
|
|
|
c.Haid |
Pasal 81 UUK mengatur agar pekerja perempuan/buruh bisa
mendapatkan libur saat hari menstruasi pertama dan hari kedua menstruasi |
Draf RUU
"Cipta Kerja" belum termasuk hak cuti haid bagi perempuan. RUU
"Cipta Kerja" tidak menuliskan hak cuti haid pada hari kedua menstruasi
yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan |
|
d.Cuti hamil |
Pasal 82 UUK mengatur mekanisme cuti melahirkan bagi
pekerja perempuan. Ini juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja
perempuan / buruh yang mengalami
Keguguran |
Draf RUU
"Cipta Kerja" tidak mencakup status pembahasan, amandemen atau
penghapusan dalam pasal tersebut |
|
|
e.Hak menyusui |
Pasal 83 UUK menetapkan bahwa pekerja perempuan/buruh
yang anaknya masih menyusui harus diberikan kesempatan yang tepat untuk
menyusui anaknya jika hal ini harus dilakukan pada waktu kerja. |
Draf RUU
"Cipta Kerja" tidak mencakup status pembahasan, amandemen atau
penghapusan dalam pasal tersebut |
f.Pergi untuk Ibadah Keagamaan |
Pasal 80 UUK menyebutkan: Pengusaha diwajibkan
memberikan kesempatan yang memadai bagi pekerja/buruh untuk melaksanakan
ibadah diwajibkan oleh agama mereka. |
Draf RUU
"Cipta Kerja" tidak mencakup status pembahasan, amandemen atau
penghapusan dalam pasal tersebut |
|
2 |
Upah |
|
|
a.Hasil dan
waktu upah satuan |
Tidak diatur dalam UUK sebelumnya |
Adanya upah
satuan dan waktu. Upah hasil unit adalah upah yang ditentukan berdasarkan
satu kali, seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara itu, upah hasil
unit adalah upah yang ditentukan berdasarkan hasil pekerjaan yang telah disepakati. |
|
b.Upah
Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota |
Upah minimum ditetapkan pada tingkat provinsi,
kabupaten/kota dan sektoral. Berdasarkan Pasal 89 UUK, setiap daerah
diberikan hak untuk menetapkan sendiri kebijakan Upah minimum baik di tingkat
provinsi maupun Tingkat kabupaten/kota |
Meniadakan
upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral
kabupaten/kota (UMSK), sehingga penetapan upah hanya berdasarkan Upah Minimum
Provinsi (UMP) |
|
c.Bonus |
Tidak diatur dalam UUK sebelumnya |
Memberikan
bonus, atau hadiah lainnya untuk pekerja sesuai dengan masa jabatan mereka.
Bonus tertinggi adalah lima kali upah untuk pekerja yang telah bekerja selama 12 tahun atau lebih |
|
d.Rumus selisih menghitung upah minimum |
Rumus yang digunakan adalah UMt + {UMt, x (INFLATION +%
∆ PDBt)} Catatan:: UMn: Upah minimum yang ditetapkan UMt: Upah minimum tahun berjalan Inflasit: Inflasi
dihitung dari periode September tahun lalu hingga periode September tahun
berjalan ∆ GDPt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
dihitung dari pertumbuhan PDB yang mencakup kuartal ketiga dan keempat tahun dan kuartal pertama dan kedua
tahun berjalan |
Rumus yang
digunakan adalah UMt + 1 = UMt + (UMt x% PEt) Catatan:: UMt: Upah
minimum untuk PEt tahun berjalan: Pertumbuhan ekonomi tahunan Tidak ada
inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah |
|
3 |
Pembayaran pesangon |
|
|
a.Penggantian |
Diatur dalam pasal 156 (4) UUK |
Tidak ada
uang kompensasi |
|
Hak |
|
|
|
a.Periode Remunerasi Layanan |
Diatur dalam pasal 156 (3) UUK |
Uang
penghargaan layanan 24 tahun dihapuskan. RUU "Cipta Kerja"
menghapus poin H dalam pasal 156 ayat 3 mengenai uang imbalan bagi
pekerja/buruh yang telah bekerja selama 24 tahun atau lebih dimana
pekerja/buruh harus menerima imbalan uang sebanyak 10 orang upah berbulan-bulan. |
|
|
b.Pembayaran pesangon |
Pasal 161 UUK menyebutkan: (1)
Dalam hal pekerja/buruh melanggar ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara bermusyutan. Berpartisipasi. |
Menghapuskan
pesangon membayar pekerja/buruh yang di-PHK karena surat peringatan. Padahal,
Pasal 161 Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) menyebutkan bahwa pekerja/buruh
yang telah di-PHK karena telah menerima surat peringatan berhak menerima
bayaran pesangon. • Menghapuskan pesangon membayar pekerja/buruh yang
di-PHK akibat merger, perubahan status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh
yang kena PHK akibat perubahan status kepemilikan perusahaan tidak akan lagi
diberikan pembayaran pesangon oleh perusahaan asal, karena hal ini telah
dihapus dalam RUU "Cipta Kerja". • Menghapuskan pesangon membayar pekerja/buruh yang
di-PHK karena perusahaan kehilangan 2 tahun dan bangkrut. Pemerintah telah
menghapus pasal 164 dan 165 UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Karya.
Sehingga nantinya pekerja/buruh yang di-PHK karena perusahaan mengalami
kerugian dan • Menghapuskan santunan berupa pesangon membayar ahli
waris atau keluarganya jika pekerja/buruh meninggal dunia. Rancangan
Undang-Undang "Cipta Kerja" juga telah menghilangkan pemberian
santunan berupa pembayaran pesangon, hak membayar ganti rugi selama
bertahun-tahun pelayanan dan kompensasi atas hak ahli waris yang tertinggal. • Menghapuskan pesangon membayar pekerja/buruh yang
di-PHK karena hendak memasuki usia pensiun. Pemerintah telah menghapuskan
pasal 167 UUK, yang mengatur pembayaran pesangon bagi pekerja/buruh yang
di-PHK karena memasuki usia pensiun. |
|
Pasal 163 (1) UUK menyebutkan: Pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja pekerja/buruh
apabila terjadi perubahan
status,
penggabungan, konsolidasi, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pekerja/buruh berhak
atas pembayaran pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan. Pasal 156
ayat (2), imbalan uang untuk masa kerja 1 (satu) kali sebagaimana diatur dalam
Pasal 156 ayat (3) dan ganti rugi hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4). |
|
|
|
Pasal 164 dan 165 UUK menetapkan bahwa pekerja/buruh
yang di-PHK karena perusahaan merugi dan bangkrut berhak membayar pesangon. |
|
|
|
Pasal 166 UUK mengatur hak-hak pekerja 'atau keluarga
pekerja'. Jika pekerja atau pekerja meninggal, majikan harus memberikan uang
kepada ahli waris. |
|
|
|
Pasal 167 UUK mengatur pesangon membayar pekerja/buruh
yang di-PHK karena memasuki usia pensiun. |
|
|
4 |
Jaminan Sosial |
|
|
|
a.Jaminan Pensiun |
Pasal 167 ayat (5) UUK menyebutkan: Dalam hal seorang
pengusaha tidak termasuk pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan
kerja karena usia pensiun dalam program pensiun, pengusaha wajib memberikan
pekerja/buruh dengan pembayaran pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2). ), imbalan uang untuk masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan kompensasi uang untuk hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4). |
Menghapus
sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak termasuk pekerja/buruh dalam program
pengamanan pensiun. Dengan menghapus pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang
menyatakan "Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 167 ayat (5), akan dikenakan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan maksimum Rp. 500.000.000,00
(lima seratus juta rupiah) " |
b.Jaminan Kehilangan Pekerjaan |
Tidak diatur dalam UUK sebelumnya |
Tambah program
jaminan sosial baru, Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dikelola BPJS
Ketenagakerjaan berbasis asuransi sosial Prinsip |
|
5 |
Pemutusan Hubungan Kerja |
|
|
|
Alasan perusahaan diizinkan untuk memberhentikan |
Melihat UU Ketenagakerjaan, ada 9 alasan perusahaan
dapat melakukan PHK seperti: • Perusahaan bangkrut • Perusahaan tutup karena kerugian • Perubahan status perusahaan • Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja • Pekerja / buruh melakukan kesalahan serius • Pekerja / buruh memasuki usia pensiun • Pekerja / buruh mengundurkan diri • Pekerja / buruh meninggal • Pekerja / buruh tidak hadir |
RUU
"Cipta Kerja" menambah 5 poin lagi alasan perusahaan melakukan PHK,
antara lain: • Perusahaan melakukan efisiensi • Perusahaan melakukan merger, konsolidasi, akuisisi
atau pemisahan perusahaan • Perusahaan dalam keadaan menunda kewajiban pembayaran
utang • Perusahaan melakukan tindakan yang merugikan pekerja
/ buruh • Pekerja/ buruh mengalami penyakit berkepanjangan atau
cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melaksanakan pekerjaannya
setelah melebihi batas 12 (dua belas) bulan. |
6 |
Status ketenagakerjaan |
Pasal 59 UUK mengatur bahwa pekerja dikenakan
perjanjian kerja jangka tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu - PKWT) selama
maksimal 2 tahun, maka dapat diperpanjang lagi dalam waktu 1 tahun. |
Menghapuskan
pasal 59 UUK yang mengatur syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja
kontrak. Dengan penghapusan artikel ini, tidak ada batasan pada aturan bahwa
pekerja dapat dikontrak, akibatnya pekerja dapat menjadi pekerja kontrak
untuk Kehidupan. |
7 |
Jam kerja |
Pekerjaan lembur maksimum hanya 3 jam per hari dan 14
jam per minggu. |
Draf
"RUU Cipta Kerja berencana memperpanjang lembur hingga maksimal 4 jam
per hari dan 18 jam per minggu. |
8 |
Outsourcing |
Undang-undang tentang penggunaan outsourcing terbatas
dan hanya untuk pekerja di luar bisnis utama. |
RUU
"Cipta Kerja" akan membuka kemungkinan bagi instansi outsourcing
untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan
pekerja penuh waktu. Ini akan membuat penggunaan daya outsourcing lebih bebas |
9 |
Tenaga Kerja
Asing (Tenaga Kerja Asing – TKA) |
Pasal 42 ayat 1 UUK menyebutkan: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing diwajibkan memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. |
Dalam draf
RUU "Cipta Kerja", izin tertulis dari TKA diganti dengan
persetujuan rencana penggunaan TKA |
|
|
Pasal 43 ayat 1 Seorang pemberi kerja yang menggunakan
tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
telah disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 44 ayat 1; Pengusaha pekerja asing diwajibkan
untuk mematuhi ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang
berlaku. |
Pasal 43
tentang rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat untuk
mendapatkan izin kerja dimana dalam RUU "Cipta Kerja", informasi
mengenai masa penugasan ekspatriat, pengangkatan pekerja menjadi warga negara
Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat
ditiadakan |
|
|
|
Pasal 44
tentang kewajiban mematuhi ketentuan mengenai dan
kompetensi tenaga kerja asing dihapus. |
IV. KESIMPULAN
Omnibus Law dipilih
sebagai strategi untuk mengatasinya tantangan dan kendala regulasi di Indonesia,
karena dipercaya memiliki beberapa keunggulan dalam menerapkan konsep Omnibus
Law yang digunakan oleh beberapa orang negara, sambil menangani vertikal dan
horizontal konflik kebijakan publik secara efektif dan efisien, menyelaraskan
kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat dan di daerah, serta jaminan
kepastian hukum dan hokum perlindungan bagi pembuat kebijakan. Omnibus Law
belum mampu menjadi strategi untuk mengurai regulasi masalah di Indonesia,
karena peraturan perundang-undangan sistem di Indonesia membutuhkan peraturan
pelaksana dan melaksanakan regulasi teknis suatu undang-undang. tidak
untuk menyebutkan sistem pembentukan hukum di Indonesia yang mana tidak di
parlemen, tapi di kekuasaan legislatif itu membutuhkan persetujuan bersama dari
eksekutif RUU Omnibus
Law Cipta Kerja cenderung berpotensi mereduksi hak setiap
orang untuk bekerja dan menerima kompensasi dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 28D UUD 1945 dan lain-lain. Dalam
hal ini RUU Omnibus Law Cipta Karya memiliki aspek yang lebih merugikan Selain
aspek manfaat jika dilihat dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis serta
aspek proses penyusunan yang tidak transparan dan tidak sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 2019 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia - DPR RI harus
memiliki komitmen dan kemauan politik yang tinggi dalam hal pembentukan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan berdasarkan prinsip kejelasan
tujuan dan prinsip kelembagaan yang sesuai.