MENGEDEPANKAN MARTABAT WANITA PAPUA ATAS HAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sebelumnya, kita perlu
memahami terlebih dahulu pemahaman atau ideologi yang disebutkan dalam
pertanyaan:
1. Individualistis
Paham individualistis
ini seringkali dikenal juga dengan paham liberalisme (kebebasan) yang
dikenalkan oleh John Locke dan Jan Jaques Rousseau dan dikutip oleh Max
Boli Sabon dalam bukunya Hak Asasi Manusia (hal. 87)
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia sejak dalam kehidupan alamiah (status
naturalis) telah mempunyai hak asasi, termasuk hak-hak yang dimiliki secara
pribadi. Hak manusia meliputi hak hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan, serta
hak milik (hak memiliki sesuatu).
2 . Marxisme
Paham marxisme
menurut Mujaid Kumkelo, dkk dalam bukunya Fiqh HAM (Ortodoksi
dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam) (hal. 34) adalah paham
yang diambil dari filsuf Karl Marx, dimana paham tersebut menolak teori hak-hak
alami, karena suatu hak adalah kepemilikan negara atau kolektivitas (respository
of all rights).
Pahak marxisme ini
menurut Teguh Presetyo dalam bukunya Filsafat, Teori,
dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (hal.
42) sebuah filsafat yang tidak boleh statis, tetapi harus aktif membuat
perubahan-perubahan karena yang terpenting adalah perbuatan dan materi, bukan
ide-ide. Menurut Marx, manusia selalu terkait dengan hubungan-hubungan
kemasyarakatan yang melahirkan sejarah. Menusia adalah makhluk yang
bermasyarakat, yang beraktivitas, terlihat dalam suatu proses produksi. Hakikat
manusia adalah kerja (homo laborans, homo faber). Jadi ada kaitan yang erat
antara filsafat, sejarah, dan masyarakat. Pemikiran Marx ini dikenal dengan
Materialisme Historis atau Materialisme Dialektika.
Masih dari sumber yang
sama, dengan jalan pikiran ini pula Marx menjelaskan pandangannya tentang teori
pertentangan kelas, sehingga pada perkembangan berikutnya melahirkan Komunisme.
3 .Integralistis
Paham integralitas
adalah suatu konsep negara yang dipaparkan oleh Soepomo, yang
menurutnya negara adalah hukum, dimana jika negara berbahagia, berarti dengan
demikian itu adalah kebahagian bagi tiap individu dan golongannya juga, karena
individu dan golongan tersebut cinta kepada tanah air. Dengan demikian, hak
yang berasal dari manusia sebagai otonomi sendiri adalah hal yang bertentangan
menurut prinsip integralistis, karena kepentingan individu adalah kepentingan
negara, begitu juga sebaliknya. (Pidato Soepomo dalam sidang Badan
Persiapan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 31 Mei
1945. Lihat, Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945).
Kemudian kita juga perlu
memahami mengenai konsep generasi Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang berkembang di
dunia, Max Boli Sabon (hal.31-33) membagi menjadi 3 generasi yaitu:
1
.Generasi pertama: Hak Sipil dan Politik (“Hak Sipol”).
Hak sipil contohnya
adalah:
A . hak untuk menentukan
nasib sendiri;
B . hak untuk hidup;
C .hak untuk tidak
dihukum mati;
D .hak untuk tidak
disiksa;
E .hak untuk tidak ditahan
secara sewenang-wenang;
F .hak atas peradilan
yang adil, independen, dan tidak berpihak.
Hak politik contohnya
adalah:
A .hak untuk berekspresi
atau menyampaikan pendapat;
B .hak untuk berkumpul
dan berserikat;
C .hak untuk mendapatkan
persamaan perlakuan di depan hukum;
D .hak untuk memilih dan
dipilih;
E .hak untuk duduk dalam
pemerintahan.
Hak Sipol ini dituangkan
dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (“UU Sipol”)
1 .Generasi kedua: Hak Ekonomi, sosial, dan kebudayaan (“Hak
Ekosob”)
Hak ekonomi contohnya adalah:
a.
hak untuk bekerja;
b.
hak untuk mendapatkan upah yang sama atas pekerjaan yang sama;
c.
hak untuk tidak dipaksa bekerja;
d.
hak untuk cuti;
e.
hak atas makanan dan perumahan;
f.
hak atas kesehatan.
Hak
sosial contohnya adalah:
a.
hak atas jaminan sosial;
b.
hal atas tunjangan keluarga;
c.
hak atas pelayanan sosial;
d.
hak atas jaminan saat menganggur, menderita sakit, cacat,
menjanda, mencapai usia lanjut;
e.
hak ibu dan anak untuk mendapat perawatan dan bantuan istimewa;
f.
hak perlindungan sosial bagi anak-anak di luar perkawinan.
Hak
kebudayaan contohnya adalah:
a.
hak atas pendidikan;
b.
hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan;
c.
hak untuk menikmati kemajuam ilmu pengetahuan;
d.
hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta.
Hak
Ekosob ini dituangkan dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya dan telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) (“UU
Ekosob”).
3.
Generasi ketiga: mencakup enam macam hak, yaitu:
a.
hak atas penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi, sosial,
politik, dan kebudayaan;
b.
hak atas pembangunan ekonomi dan sosial;
c.
hak untuk berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari
warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), serta
informasi-informasi dan kemajuan lain;
d.
hak atas perdamaian;
e.
hak atas lingkungan yang sehat;
f.
hak atas bantuan kemanusiaan.
4.
Generasi keempat: satu generasi ini diusung oleh Jimly Ashiddique,
dimana menurutnya dalam bukunya Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi (hal. 209-228) HAM generasi pertama sampai ketiga hanya
konsep HAM yang dilihat dari perspektif vertikal yaitu hubungan antara rakyat
dengan penguasa. Sedangkan hak generasi keempat adalah konsepsi hak asasi
manusia yang dilihat dari perspektif yang bersifat horizontal. Menurutnya,
melihat perkembangan zaman ini muncul tiga kelompok kekuasaan horizontal, yaitu
kekuasaan negara di satu pihak, kekuasaan ekonomi (kapitalisme
global/perusahaan multinasional di lain pihak, dan kekuasaan masyarakat madani
di lain pihak lagi. Singkatnya ada tiga kelompok kekuasaan yang saling
berpengaruh yaitu state, market, dan civil society, termasuk nongovernmental
organizaton (NGO/LSM). Dengan demikian, hak generasi keempat adalah
hak kelompok yang satu untuk tidak ditindas oleh yang lain, baik antar kelompok
maupun intrakelompok, dalam pola hubungan horizontal.
Sebelum
meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipol dan Kovenan Internasional Hak
Ekosob, Indonesia juga telah membentuk Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU
HAM”). Menurut praktisi hak-hak perempuan dari Lembaga
Samahita, Annisa Yovani, UU HAM juga telah memasukkan hak-hak
terkait sipol dan ekosob seperti pasal-pasal berikut ini:
1.
Hak Sipil:
Pasal
9 UU HAM
1.
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
2.
Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin.
3.
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal
20 UU HAM:
1.
Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
2.
Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan
wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
2.
Hak Politik:
Pasal
23 UU HAM:
1.
Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.
2.
Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Pasal
24 UU HAM:
1.
Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat
untuk maksud-maksud damai.
2.
Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk
berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan
dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.
Hak Ekonomi:
Pasal
38 UU HAM:
1.
Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak.
2.
Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang
disukainya dan berhak pula atas syaratsyarat ketenagakerjaan yang adil.
3.
Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan
yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat
perjanjian kerja yang sama.
4.
Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan
yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai
dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
4.
Hak Sosial
Pasal
41 UU HAM:
1.
Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan
untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
2.
Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita
hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
5.
Hak Kebudayaan
Pasal
71 UU HAM:
Pemerintah
wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan
hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal
72 UU HAM:
Kewajiban
dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi
langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain
Jadi
menjawab pertanyaan Anda, aliran HAM manakah yang dianut negara Indonesia?
Berikut penjelasannya:
Lebih
lanjut menurut Annisa, dalam UU HAM, UU Sipol, maupun UU Ekosob, dan
regulasi-regulasi lainnya adalah implementasi dari bentuk konsep HAM yang
digunakan di Indonesia. Ia berpendapat bahwa unsur-unsur HAM yang memiliki ciri
khas untuk kepentingan diri sendiri (seperti hak untuk hidup, hak untuk
memiliki sesuatu) adalah konsep HAM individualistik. Sedangkan
unsur-unsur HAM yang memiliki ciri khas antar individu atau suatu kelompok atau
berkaitan dengan keadilan (hak untuk mendapat upah yang sama, mendapat jaminan
sosial, hak untuk berkumpul) adalah konsep HAM aliran paham marxisme.
Selain
itu Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ketika terjadi perubahan Undang-Undang Dasar
1945 (“UUD 1945”) secara konstitusional, dengan menambah Bab
XA berjudul Hak Asasi Manusia, secara konstiusional seluruh masyarakat bangsa
Indonesia menerima konsep HAM sebagai konsep yang sejalan dengan ideologi
Pancasila. Dengan demikian, semua perdebatan tentang konsep HAM yang
terjadi sepanjang masa perjuangan kemerdekaan telah sirna, dan kini sudah tidak
ada lagi silang selisih pendapat tentang HAM untuk dimasukkan dalam UUD 1945.[1]
Sebagai
informasi, sebelumnya menurut Max Boli Sabon (hal. 89) pada era perjuangan
kemerdekaan Indonesia, muncul beberapa perdebatan mengenai masuk atau tidaknya
konsep HAM antar tokoh pendiri bangsa di antaranya:
1.
Ir. Soekarno menentang HAM dimasukkan dalan UUD 1945 karena
konsep HAM berdasarkan individualistis dalam ideologi liberalisme sehingga
harus dikikis habis dari muka bumi Indonesia.
2.
Soepomo berpendapat bahwa HAM bersifat individualistis sehingga
bertentangan dengan paham negara kekeluargaan (negara integralistis) yang
sedang dibangun.
3.
Mohammad Hatta berpendapat bahwa Ham perlu dimasukkan dalam UUD
1945 untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh negara terhadap warga
negara manakala suatu saat negara hukum (rechtsstaat) berubah
menjadi negara kekuasaan (machtsstaat).
4.
Mohammad Yamin berpendapat bahwa HAM perlu dimasukkan dalam UUD
1945 sebagai perlindungan kemerdekaan terhadap warga negara yang harus diakui
oleh UUD 1945.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
Hukum:
2.
Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
B.
Tujuan
1 . Membuat mahasiswa
lebih mengerti bahwasannya ham memiliki banyak makna dan arti bagi kehidupan setiap manusia
2. Agar mahasiswa lebih
memahami cara mengemansipasi wanita atau lebih menghargai wanita
3 . Agar mahasiswa
lebih tau peraturan tersebut sesuai atau tidak di buat oleh pemerintah
4 . Agar mahasiswa
dapat mengedukasi mahasiswa lain yang belum memahami atau tau tentang ham yang
lebih menyeluruh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Menelusuri Konsep HAM Bagi Wanita
Masih
dalam kerja pendokumentasian korban kekerasan,konsep kami mulai lagi dengan
sebuah proses yang lahir dari pemahaman bahwa Perempuan Penerus
Kehidupan, kami menyebutnya Noken Kehidupan.
Cara Perempuan Papua memulihkan dirinya dari pengalaman kekerasan dan
pelanggaran HAM yang dialami.
Noken, dalam perspektif perempuan
korban, noken telah menginspirasi perempuan korban dalam berbagi cerita.
Pandangan ini menjadi penting ketika perempuan Papua mulai memandang penting
filosofi Noken sebagai simbol pemersatu perempuan, karena melekat nilai-nilai
kemanusian yang berbudaya. Pandangan ini juga telah membentuk cara
pandang perempuan Papua pembela HAM dan juga ditambah pengalaman dan
pembelajaran seperti yang dialami oleh perempuan-perempuan di Columbia dalam
apa yang disebut program “berpelukan” dan bagi perempuan-perempuan
di Asia dan Afrika menyebutnya “Batu Loncatan” atau Stepping Stones”.
Konsep Anyam
Noken, adalah sebuah proses pemulihan yang berbasis perempuan korban di
komunitas basis (kampung-kampung). Konsep ini juga menjadi konsep dasar
pembentukan Jaringan HAM Perempuan Papua yang dinamakan Tiki’ yang dalam
bahasa suku Mee Paniai artinya Selesai Sudah, Stop Sudah, jangan diulang-ulang.
Dengan pemahaman Anyam Noken sebagai sebuah proses pemulihan dan pemenuhan hak
perempuan maka kami mencoba membuat sebuah kerangka proses yang bisa membantu
kita memahami dan memperkuat apa yang sedang kita lakukan.
Dengan
menggunakan metafora ’menganyam noken’, kita mengumpulkan apa yang selama
ini tercerai-berai, terhambur, kemudian mengikatnya menjadi sesuatu yang kuat.
Anyam Noken ini menjadi forum dimana pengalaman-pengalaman kita bisa
dikumpulkan dan menjadi bekal kita untuk memperkuat suara kita, menjadi modal
untuk kita mengubah dunia.
B. Menggali Sumber
Historis,sosiologi dan politis pelanggaran HAM
Ada sumber historis (sejarah), sosiologis, dan
politis terkait dengan munculnya konsep mengenai HAM tentang kekerasan
perempuan papua tersebut. Sumber-sumber itu melatarbelakangi berkembangnya
konsepsi HAM dan yang terpenting bagaimana bisa terjadi hingga pelanggaran HAM
tersebut tidak di kedepankan, sebagai berikut :
1
. Latar Belakang Historis Kekerasan Perempuan Papua Atas Pelanggaran HAM yang
Terjadi
Kejadian terjadi karenaPresiden Jokowi telah banyak melontarkan
janji-janji surga untuk merangkul warga Papua, termasuk kalangan mama-mama
di tanah cendrawasih. Janji ini pula yang mengantarkan Jokowi menang mutlak
dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) dua periode. Namun, lidah memang tak
bertulang, sebab hingga kini kekerasan rasial maupun dengan moncong senjata
masih bertebaran di tanah cendrawasih.
Mama Douw tak pernah menyangka, jika hari itu
9 Desember 2014 merupakan pertemuan terakhirnya dengan putra semata wayang,
Pius Youw (19).
“Hati saya sedih, anak laki-laki satu-satunya
ditembak mati seperti binatang,” tuturnya.
Sebelumnya,
Mama Douw bersama dengan sejumlah perempuan Enarotali berada di garda depan
usai pecah insiden kekerasan pemuda di Pondok Natal. Ia menari waita menuju Lapangan Karel Gobay, Enarotali,
Paniai pagi harinya dan berupaya menghalau pemuda yang merangsek masuk ke
markas Polsek dan Koramil setempat.
Nahas, beberapa waktu kemudian, tanpa
kompromi aparat menembakkan peluru secara bertubi-tubi ke udara, termasuk
ke arah perempuan dan para pemuda. Mama Douw selamat, namun timah panas
menembus kulit putranya hingga tewas.
Sebagai wujud protes atas kematian Pius Youw,
janda yang sehari-hari berkebun wortel dan menjualnya ke Pasar Enaro ini
membiarkan jenazah putranya, persis di depan kantor Koramil. Ia bersama
mama-mama yang anaknya turut menjadi korban penembakan, membangun tenda untuk
menempatkan peti jenazah putra mereka, sembari berunjuk rasa menuntut pertanggungjawaban
Pangdam Trikora dan Kapolda Papua.
Baca
Juga: Pemberontak
Papua Mengaku Jarah Senjata dari Puing Helikopter Militer
Empat hari berselang, tak ada respons dari
pihak militer Indonesia di tanah cendrawasih. Apa lacur, jenazah lima korban
tewas yang umumnya merupakan pelajar SMA ini pun dikuburkan, karena kondisinya
yang mulai membusuk. Mama Douw dan perempuan lainnya menggali liang lahat
seadanya untuk mengebumikan putra-putra mereka.
Kasus kekerasan yang menimpa Mama Douw dan
putranya tersebut memang memperlihatkan pola dan motif kekerasan yang berbeda.
Jika dalam kasus-kasus sebelumnya, perempuan umumnya mengalami kekerasan seksual
dan penyanderaan dalam rangka penundukan anggota keluarga yang dituduh terlibat
gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Maka, kekerasan Paniai ini
agak khusus lantaran korban penembakan, yakni Pius Youw, Apinus Octovia Gobay,
Yulian Yeimo, dan Simon Degey, merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluarga
masing-masing.
Menurut Yones Douw, Koordinator Monitoring
dan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia dari Departemen Keadilan dan
Perdamaian Gereja Kingmi di tanah cendrawasih, sesuai pandangan budaya
setempat, ketika anak laki-laki tunggal dalam keluarga mangkat, walhasil
penerus marga/ fam sudah tidak ada lagi.
“Ini menjadi
siksaan seumur hidup bagi mama-mama yang melahirkan mereka, sebab sesuai
tradisi, mereka dianggap sebagai perempuan yang tak berguna lagi,” imbuhnya,
dikutip Elsam.
Koordinator Divisi Perempuan Elsam Papua
Zandra Mambrasar mengungkapkan pada saya dalam suatu diskusi di Jakarta pada
2015. Menurutnya, akar dan genealogi kekerasan yang menimpa perempuan tanah cendrawasih,
baik yang motifnya berupa pembunuhan suami dan anak, maupun kekerasan serta
pelecehan seksual sudah terjadi, bahkan sejak sebelum Pepera.
Sejarah kelam di tanah cendrawasih sudah
diawali sejak operasi militer 1952 di bawah komando Ali Kahar. Namun, saat
itu operasi militer dilakukan untuk mengkonfrontasi Belanda yang masih
bercokol di sana. Sejak itu, nama-nama seperti Beny Moerdani, Ali Murtopo, dan
Sarwo Edhie Wibowo, bergantian memimpin operasi militer tanah cendrawasih.
Puncaknya adalah ketika Ali Murtopo memimpin operasi militer antara 1961-1969
untuk mengawal proses integrasi Papua hingga pelaksanaan Pepera.
Sejak itulah terjadi kekerasan politik dan
pelanggaran HAM di tanah cendrawasih. Pasalnya, menjelang Pepera, kelompok
militer Indonesia getol melakukan intimidasi dan memperlakukan orang tanah
cendrawasih secara semena-mena. Tokoh-tokoh intelektual dan masyarakat yang
tidak setuju dengan integrasi tanah cendrawasih ke Indonesia ditekan dengan
intimidasi dan teror, diberi minuman keras, dan perlakuan semena-mena lainnya.
Sementara itu, menurut Zandra, pelaksanaan
Pepera sendiri sangat kontradiktif dengan semangat demokrasi.
“Bayangkan saja, dalam Pepera, satu orang
tidak sama dengan satu suara. Namun itu dilakukan dengan cara perwakilan, sebanyak
2025 orang mewakili 800.000 orang Papua saat itu,” ungkapnya.
Menurut Naj Taylor sebagaimana dikutip oleh
aktivis tanah cendrawasih Zely Ariane, Pepera sendiri adalah tonggak dimulainya
penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli tanah cendrawasih. Tak
kurang dari 100.000 manusia tanah cendrawasih asli tewas dibunuh dalam berbagai
operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah tanah cendrawasih
sejak Orde Baru berkuasa.
Selain operasi penumpasan pimpinan Ali
Murtopo, ada pula operasi militer lainnya seperti Operasi Sadar (1965-1967),
Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya
(1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982),
Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer
(1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.
“Pembersihan” warga tanah cendrawasih pada
akhirnya melahirkan ekses-ekses yang tak berkesudahan hingga saat ini.
“Para perempuan penyintas kekerasan di Papua
hidup dalam trauma yang berkepanjangan, gangguan kesehatan reproduksi yang
terganggu, sumber penghasilan ekonomi raib karena kesehatan fisik yang menurun,
menjadi tuna wisma, dan mengalami diskriminasi seumur hidup akibat pelabelan
simpatisan OPM,” jelas Zandra.
Kasus-kasus
kekerasan, seperti peristiwa penembakan di Paniai sendiri bukan merupakan hal
yang asing di tanah cendrawasih. Selama dua dekade sejak Reformasi 1998 di
Indonesia, Amnesty International kerap menerima laporan dugaan pembunuhan di luar
hukum (unlawful killing) oleh pasukan keamanan di Papua dan
Papua Barat.
Dalam laporan bertajuk “Sudah, Kasi Tinggal
Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua”, Amnesty International mencatat,
ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di tanah
cendrawasih. Itu terjadi dalam kurun Januari 2010 sampai Februari 2018, dan
memakan 95 korban jiwa. Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari
kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan 11 kasus
lainnya dilakukan kedua aparat keamanan bersama-sama. Selain itu, satu kasus
tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di
bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakkan peraturan daerah.
Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis tanah cendrawasih.
Jauh sebelum itu, dari kurun 1963 hingga
2009, sebanyak 138 kasus kekerasan terhadap perempuan tanah cendrawasih juga
terjadi. Dalam laporan bertajuk ‘Stop Sudah!” yang berisi kesaksian 138
penyintas perempuan tanah cendrawasih, 14 kasus di antaranya melibatkan
aparat TNI/ Polri. Korban kekerasan terus muncul bahkan setelah Otsus tanah
cendrawasih dipancangkan.
Menurut Markus Haluk (2013), dalam kurun 2008
hingga 2012 ada sebanyak 366 kasus pelanggaran hak sipil dan politik terhadap
warga tanah cendrawasih. Pelanggaran itu meliputi penyiksaan berat, penangkapan
sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan, pemerkosaan perempuan, pembakaran,
penggerebekan asrama mahasiswa dan penghancuran harta warga, pengekangan demonstrasi
damai, penolakan surat pemberitahuan demo damai, penahanan warga sipil dengan
tuduhan makar, pembatasan akses anggota parlemen, kongres dan diplomat asing,
pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis internasional, media nasional dan
lokal, serta ancaman pembela HAM.
Sementara berdasarkan temuan ELSAM terbaru,
sepanjang 2014 ada 102 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk di
antaranya kekerasan terhadap perempuan, yang terjadi di Papua. Sebagian besar
kasus kekerasan yang terjadi di 19 kabupaten/ kota di Papua ini melibatkan
aparat keamanan dan anggota aparat keamanan, anggota TNI, dan kelompok sipil
bersenjata Terakhir, terjadi peristiwa penembakan oleh aparat keamanan di
Paniai yang menewaskan lima orang korban, di antaranya Pius Youw, putra Mama Douw
di atas.
JANJI KOSONG JOKOWI
Kekerasan di Paniai yang melahirkan nestapa
bagi Mama Douw menjadi pelanggaran HAM perdana saat Jokowi pertama naik tahta
sebagai RI-1 pada 2014. Komnas HAM sendiri menetapkan tragedi tersebut sebagai
pelanggaran HAM yang berat, berdasar sidang paripurna khusus pada 3 Februari
2020.
“Secara aklamasi kami putuskan (tragedi
Paniai) sebagai peristiwa pelanggaran berat HAM,” ujar Ketua Komnas HAM Ahmad
Taufan Damanik lewat keterangan tertulisnya, Minggu (16/2).
Ini relatif ironis mengingat sebelum terpilih
sebagai Presiden RI, Jokowi telah banyak melontarkan janji-janji surga untuk
merangkul warga Papua, termasuk kalangan mama-mama Papua. Janji ini pula yang
mengantarkan Jokowi menang mutlak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) dua periode.
Pada Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menang 67,63 persen di Papua
Barat dan 72,49 persen di Papua. Berikutnya, pada Pilpres terakhir,
Jokowi-Ma’ruf Amin meraup suara 79,81 persen di Papua Barat dan 90,66 persen di
Papua.
Presiden Indonesia Joko Widodo menari bersama
para penari Papua selama kunjungannya ke Wamena pada 28 Oktober 2019. (Foto:
AFP/Istana Kepresidenan)
Namun, lidah memang tak bertulang. Hampir
seluruh janji Jokowi, mulai dari penuntasan kasus pelanggaran HAM di
Paniai, dialog dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua seperti Gerakan
Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat
(KNPB), memasukkan orang Papua ke dalam kabinet periode 2, tak ada yang
diwujudkan.
Sebagai gantinya, ia justru mempertahankan
para militer untuk bisa lebih lama “menjaga keamanan” di Papua. Yang kedua, a
mewacanakan strategi bernuansa politik bernama pemekaran daerah. Padahal, para
pengamat sudah memperingatkan, selama rencana pemekaran dilakukan bukan dengan
alasan pemerataan, melainkan cara memecah belah kekuatan gerakan rakyat Papua,
sedang militer masih bercokol di sana, maka kekerasan di Papua akan terus
niscaya.
Jokowi mestinya belajar untuk memandang
penyelesaian kasus konflik di Papua bukan sekadar dari kacamata Jakarta. Ada
persoalan kemanusiaan dan marginalisasi yang brutal terhadap orang Papua.
Banyak orang Papua meninggal dunia karena konflik berkepanjangan, banyak
perempuan menjanda, anak-anak kurang gizi dan tak terdidik karena sibuk
mengungsi. Ini belum ditambah dengan persoalan rasisme yang selama pemerintahan
Jokowi justru menguat di berbagai wilayah, termasuk Jakarta dan Surabaya.
2
.
Latar Belakang Sosiologis Atas Pelanggaran HAM Pada Perempuan Papua
Dengan adanya kasus ini maka Gerakan perempuan Indonesia yang bangkit
sejak dekade 1980-an berada dalam titik konsolidasi nasional yang solid pada
akhir dekade 1990-an. Apa yang dimaksud “gerakan perempuan” adalah momentum
terjadinya konsolidasi pelbagai organisasi perempuan untuk agenda politik yang
sejalan. Ada dua jenis agenda politik yang diperjuangkan gerakan perempuan,
yaitu agenda politik perempuan dan agenda politik yang bersifat umum sebagai
warga negara.
Agenda politik perempuan berhubungan dengan
ketidakadilan berbasis gender, baik dalam ranah privat maupun publik. Dalam
relasi-relasi personal, keluarga, masyarakat maupun negara. Di antara semua
masalah itu yang khas perempuan adalah mengenai kekerasan terhadap
(seksualitas) perempuan. Ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan
pada masa dekade 1980-1990 dihadirkan oleh otoritarianisme/militerisme Orde
Baru dalam strategi politik nasionalnya. Itu sebabnya konsolidasi gerakan
perempuan tidak hanya mengangkat ketidakadilan berbasis gender maupun kekerasan
terhadap perempuan, melainkan pada akhirnya berujung pada perlawanan terhadap
otoritarianisme Orde Baru.
Secara ideologis, hal yang mengonsolidasikan
kebangkitan gerakan perempuan pada masa itu adalah melawan ideologi gender Orde
Baru (ibuisme-negara) yang terumuskan dalam Panca Dharma Wanita. Ideologi ini
masuk ke dalam strategi politik nasional guna membungkam radikalisasi politik
perempuan. Itu sebabnya aktivitas berorganisasi bagi perempuan disubordinasikan
seturut pekerjaan dan jabatansuami.
Secara politik, konsolidasi gerakan perempuan di
dalam negeri mendapat penguatan atau legitimasi dari konferensi-konferensi
internasional yang diselenggarakan PBB. Dalam situasi negara melarang perempuan
berpolitik kritis, maka mandat konferensi internasional semacam itu dapat
menjadi legitimasi bagi aktivis perempuan untuk bergerak. Kedua konferensi yang
signifikan, pertama, adalah Konferensi Internasional HAM yang diselenggarakan
di Wina (Austria) pada 1993 dan menghasilkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan. Kedua, adalah Konferensi Perempuan Internasional yang
diselenggarakan di Beijing pada 1995 yang menghasilkan mandat untuk
mengentaskan perempuan dari posisi marginalnya, baik akibat pembangunanisme
(yang kapitalistik atau mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada
kesejahteraan) maupun strategi politik nasional.
Perlawanan terhadap ideologi gender Orde Baru
disertai penyadaran dalam bentuk training gender baik untuk perempuan maupun
laki-laki. Training gender menjadi bagian dari agenda politik sejak awal dekade
1990-an. Aktivis perempuan lantas terkonsolidasi dalam jaringan kerja gender
dalam skala daerah sampai nasional. Jaringan kerja ini melakukan sejumlah
agenda politik perempuan di daerah dan nasionalyangsignifikan.
Adanya Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan, membuat aktivis perempuan mempunyai legitimasi untuk mengungkap dan
melawan masalah ini. Dimensi kekerasan terhadap perempuan dalam perkembangannya
memperoleh fakta yang lebih luas. Masalah ini tak hanya terjadi dalam relasi
antarpersonal, melainkan juga terjadi dalam relasi antara (aparatus) negara dan
warga negara perempuan. Terungkapnya kekerasan seksual pada masa Perang Pasifik
oleh Jepang terhadap perempuan Indonesia (jugun ianfu) pada 1942-1945 membuka
wacana baru mengenai makna kekerasan. Untuk pertama kalinya, aktivis NGO (laki
dan perempuan) mengungkap kejahatan perang ini ke ranah nasional dan
internasional sekitar 1995. Sekali pun belum mengonsolidasi gerakan perempuan
secara nasional, tapi jugun ianfu dapat dijadikan rujukan untuk menganalisis
kekerasan seksual
Isu kekerasan terhadap perempuan benar-benar
mengonsolidasi gerakan perempuan setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Dari
peristiwa ini lahir Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) yang pembentukannya mendapat restu dari Habibie selaku presiden yang
menggantikan Soeharto. Komnas Perempuan selanjutnya menjadi sarana bagi
pengungkapan kekerasan terhadap perempuan yang berdimensi struktural dan
negara. Maka terungkaplah kekerasan seksual pada masa Tragedi 1965, kekerasan
dalam konflik di Poso dan Papua, dimana kekerasan tersebut dikaitkan dengan
pelanggaran hak sipil-politik. Selain itu berkaitan dengan pelanggaran hak
ekonomi, sosial, budaya, terungkap pelbagai kasus dalam konflik sumberdaya
alam, perburuhan, LGBT dan lainnya.
Meski belum sistematis dan terstruktur, aktivis
perempuan telah melakukan pendampingan kepada keluarga korban (terutama ibu
korban) kekerasan Orde Baru sejak kasus 27 Juli, penculikan mahasiswa (PRD),
penangkapan mahasiswa (PRD), penembakan mahasiswa (Trisakti dan Semanggi)
sampai kerusuhan Mei 1998. Pengalaman pendampingan korban ini mendorong
lahirnya gerakan women’s crisis centre sejak 2000-an di beberapa daerah.
Agenda politik kedua yang mengonsolidasikan
gerakan perempuan dan gerakan sosial adalah pada saat terjadi krisis ekonomi
1996. Krisis itu menyebabkan ketersediaan bahan pangan langka dan harganya
tinggi. Maka terjadi kelaparan tersembunyi, terutama di kalangan keluarga
miskin. Gerakan ibu peduli bangkit untuk menanggapi masalah tersebut, dan bersama
dengan aktivis gerakan sosial lainnya membangun koperasi di kampung-kampung
maupun di desa-desa. Gerakan ini sekaligus berupaya untuk memotong mata rantai
distribusi pangan yang panjang dari petani ke konsumen. Pada masa pendudukan
DPR-RI di Senayan oleh gerakan mahasiswa, gerakan ibu peduli mengonsolidasi
ibu-ibu rumah tangga untuk membuka dapur umum dan menyuplai logistik bagi
mahasiswa tersebut. Kiranya gerakan ini tak hanya di Jakarta, melainkan di
sejumlah ibukota provinsi di Indonesia.
Agenda politik ketiga adalah memperjuangkan
kuota 30 persen representasi perempuan dalam lembaga politik formal. Agenda ini
merupakan mandat Kongres Perempuan pascareformasi di Yogyakarta, 22 Desember
1998. Sejak Pemilu 1999, gerakan afirmatif untuk kuota 30 mengonsolidasi
gerakan perempuan secara nasional. Hasil yang terpenting adalah merevisi UU
Pemilu memastikan jaminan kuota 30 persen bagi representasi perempuan
3 . Latar Belakang Politis
Kekerasan Perempuan Papua Yang Merupakan Pelanggaran HAM
Agenda politik melawan kekerasan terhadap perempuan telah
berhasil menjadi hub (simpul) yang mengonsolidasi gerakan perempuan sebelum
reformasi. Namun, sesudah reformasi, simpul konsolidasi beralih kepada gerakan
peningkatan representasi perempuan di parlemen. Ada harapan, peningkatan
representasi perempuan di parlemen akan menjawab masalah penghapusan
ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Ternyata, persentase
keterwakilan perempuan di parlemen cenderung menurun, meski partisipasi perempuan
untuk menjadi caleg semakin meningkat. Sementara spektrum ketidakadilan gender
dan kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks terjadi di lokal-lokal.
Artinya gerakan peningkatan representasi perempuan masih sebatas mengejar
kuantitas kehadiran perempuan dalam politik dan belum dapat menjawab persoalan
perempuan secara kaulitatif.
Gerakan peempuan setelah 2004-an mengalami
divergensi. Organisasi perempuan tidak hanya dalam bentuk NGO perempuan,
melainkan telah tumbuh serikat-serikat berbasis sektoral di lokal-lokal.
Serikat-serikat ini cukup aktif dalam melawan problem-problem sektoral, seperti
perburuhan, kepertanian, krisis ekologi, LGBT, masalah keberagaman, dan
lainnya. Selain itu juga problem teritorial sebagai warga yang mengalami
perampasan tanah, menuntut jaminan sosial di tingkat kabupaten, dan sebagainya.
Cukup menarik, gerakan perempuan tersebut mengalami konvergensi atau
konsolidasi nasional kembali saat menghadapi tantangan RUU Pornografi dan
Pornoaksi sekitar 2006 dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual 2018-2019. Rupanya
isu kekerasan terhadap perempuan sampai sekarang mempunyai daya dalam
mengonsolidasi aktivis dan organisasi perempuan secara nasional (lintas sektor
dan teritorial).
Kini tantangan baru gerakan perempuan hadir di
depan mata. Sejak beberapa tahun belakangan ini telah tumbuh kekuatan yang
berupaya untuk membalikkan isu-isu yang diperjuangkan gerakan perempuan.
Kekuatan ini mengatasnamakan agama dan melancarkan wacana pro poligami,
antifeminis, kesetaraan gender yang syariah, membangun keluarga yang syariah
(memfitnah bahwa feminis itu anti keluarga), perkawinan muda “Yes”, RUU PKS =
perzinahan, dan lainnya. Dalam pola sejarah Indonesia, munculnya kekuatan anti
feminis kerapkali ditujukan untuk penjinakan perempuan. Penjinakan perempuan
adalah modus politik otoritarian, atau lebih jauh politik fasis. Jika para
perempuan terjinakkan, dirinya dengan mudah dapat dimobilisasi ke dalam
pelbagai kepentingan merawat dan men-generasi massa.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dapat di simpulkan bahwa Kondisi
kehidupan perempuan Papua dan Papua Barat adalah cermin dari kualitas pelayanan
dasar dan pelayanan publik yang merupakan tanggung jawab pemerintah. Dua dekade
perjalanan otonomi khusus adalah waktu yang cukup untuk memeriksa ulang, memperbaiki
dan memperteguh komitmen bersama dalam penghapusan kekerasan terhadap
perempuan. Komitmen ini juga perlu dilanjutkan dengan mengembangkan alat-alat
dalam bentuk kebijakan, program maupun aksi-aksi nyata untuk memastikan
penikmatan hak bebas dari kekerasan dan diskriminasi dapat dinikmati semua
tanpa kecuali, termasuk para mama dan saudara, adik perempuan kita. Hal ini
karena kita semua tentunya menyadari bahwa kondisi bebas dari kekerasan dan
diskriminasi atas dasar apa pun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
bangunan perdamaian yang sejati. Untuk itu, secara khusus Komnas Perempuan
merekomendasikan: 1. Melakukan evaluasi menyeluruh dengan kerangka uji cermat
tuntas pada hasil pelaksanaan Otsus pada upaya pencegahan dan penanganan
kekerasan terhadap perempuan dan menggunakan hasilnya untuk perbaikan segera
kebijakan dan program terkait. 2. Menyegerakan dukungan bagi lembaga-lembaga
pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan, baik yang dioperasionalkan
oleh pemerintah juga masyarakat sipil, sebagai implementasi dari Perdasus No.
1/2011, dengan perhatian pada: a. Akses, penerimaan dan pencatatan pelaporan
kasus kekerasan terhadap perempuan b. Keterhubungan persoalan kekerasan
terhadap perempuan dengan persoalan lainnya, termasuk pada persoalan kesehatan
seperti HIV/AIDS, atau di masa wabah pandemi Coviv19 c. Rumah aman dan
bentuk-bentuk perlindungan lainnya bagi perempuan korban kekerasan, termasuk
memastikan layanan gratis untuk visum dan tes DNA 6 d. Anggaran yang cukup
untuk penanganan kasus, pendataan dan pengembangan SDM penyelenggara layanan 3.
Menguatkan Pendidikan publik yang meluas dan efektif untuk pencegahan kekerasan
terhadap perempuan. Kami titipkan rekomendasi ini kepada Majelis yang
terhormat. Komnas Perempuan berkomitmen untuk turut mengawal tindak lanjut dari
rekomendasi ini sebagai wujud pelaksanaan mandat organisasional maupun
persaudarian untuk membangun Papua dan Papua Barat yang aman, damai dan
sejahtera.